Mohon tunggu...
Riduan Situmorang
Riduan Situmorang Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Riduan Situmorang seorang alumni dari SMA Seminari Menengah Christus Sacerdos P. Siantar dan sedang kuliah di FBS Unimed. Lahir di Simandampin, 31 Desember 1987

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Beruntung Mempunyai Maruntung

21 Januari 2016   19:42 Diperbarui: 21 Januari 2016   20:06 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maka itu, ketika pada akhirnya, masa pengabdiannya di SM-3T sudah berakhir di Agustus 2014, saya terkejut karena beliau masih melanjutkan pengabdian di Tanah Papua. Iming-iming PPG yang diheboh-heboh dan dihibahkan pemerintah bagi para peserta SM-3T murni tak diterimanya. Saat itulah saya mulai percaya bahwa Maruntung ke Tanah Papua bukan karena “takluk” dan “bersembunyi” dari persaingan. Kedatangannya murni untuk sebuah pengabdian.

Suatu kali saya tanya, mengapa masih ngotot  di Papua dan tak mengambil PPG, padahal SM-3T sudah selesai? Maksud saya PPG yang akan didapat bukanlah hadiah. PPG adalah hak setelah pengabdian lama di daerah terpelosok dan itu tak haram diambil. Toh, masa pengabdian sudah selesai! Mengapa hak itu tak diambil?

Begini jawabannya, “Kita terkadang harus mundur satu langkah untuk bisa maju sepuluh langkah dalam meraih segala cita dan harapan kita masing-masing. Para pejuang kemerdekaan kita juga dulu seperti itu. Untuk meraih dan mencicipi kemerdekaan, banyak hal-hal yang mereka korbankan. Anak, istri bahkan keluarga mereka. Bahkan sampai-sampai mengorbankan jiwa dan raganya untuk kemaslahatan banyak orang.

Dia lanjutkan lagi, “Lagian, saya melihat orang ikut PPG sekarang, orientasinya sudah beda. Tidak lagi supaya dia menjadi guru professional, tapi supaya dia bisa dapat gaji banyak, terus bisa diangkat jadi PNS. Bagi saya, perepsi demikian boleh-boleh saja, sah-sah saja, cuman hemat saya, pikiran begitu terlalu pragmatis, terlalu mencari zona nyaman.  Terus berikutnya, mengajar di daerah terpencil, daerah tertinggal, kita tidak dituntut mesti terampil sekali, menguasai semua metode belajar, punya sertifikat pendidik.”

“Di daerah saya saja, RPP tidak terpakai. Toh yang kami ajar masih baca, tulis, hitung. Kurikulum tidak bisa diterapin. Kononlah mau nerapin Kurikulum 2013. Kita bisa bayangkan sendiri kan? Selain itu, yang terpenting lagi, mengajar di daerah tertinggal harus punya jiwa survive. Harus bisa bertahan dengan kondisi kritis sekalipun. Apalagi di tempat tugas saya, masih sering terjadi perang, baik itu perang antar suku maupun perang yang datang dari gerakan separatis di Papua.”

Saya menangkap pesan bahwa Maruntung punya misi khusus di Papua. Dia ingin Papua sementereng daerah lainnya. Dia ingin, Papua sama martabatnya dengan daerah lainnya. Dia ingin, Papua menjadi benar-benar Indonesia. Tidak ketinggalan, terutama dari segi pendidikannya. Agaknya saya menangkap bahwa satu hal terpenting untuk meningkatkan derajat Papua adalah dengan meningkatkan pendidikan penduduk pribumi Papua. Sungguh sebuah misi yang revolusioner!

Pada tahun 2015 lalu, mereka me-launching-kan buku Merajut Asa di Tanah Papua. Ini setelah mereka selesai mengambil “jatah” SM-3T. Ini semakin meneguhkan bahwa kedatangan Maruntung ke Papua, daerah yang benar-benar tertinggal dan mungkin jarang ada sinyal—sekali lagi—adalah murni untuk pengabdian. Tidak ada untuk yang lain. Nah, jiwa dan semangat seperti inilah yang sudah langka di negeri ini.

Saya tak muluk-muluk dan tak takut mengatakan bahwa kini, guru tak lagi sebagai pengabdian. Justru, bagi banyak orang, guru hanya alat untuk mencapai kepuasan. Guru hanya sarana untuk mencari duit. Karena itu, guru menjadi simbol kemewahan, bukan lagi berfokus pada kepalawanan (tanpa tanda jasa). Guru sudah ditelantarkan dari filosofinya yang mestinya menjadi simbol pelayanan. Simbol ketulusan.

Maka itu, kita, Indonesia, sangat beruntung mempunyai Maruntung. Saya tahu, di kejauhan sana, banyak sosok yang demikian: sosok yang merelakan dirinya mengabdi pada kesunyian, keterbelakangan, kegelapan, ketertinggalan. Tetapi, kita juga tak menutup mata bahwa guru saat ini dominan hanya ingin tinggal di pusat kemewahan. Angka statistik jika itu dihadirkan akan semakin menyebalkan karena akan terlihat inflasi guru di kota, tetapi di pelosok malah sangat dan sangat kurang.

Artinya, sangat sedikit guru yang kini menjadikan status keguruannya sebagai bentuk dari pengabdian. Saya sendiri jika ditanya akan berpikir lebih dari tujuh kali apakah akan memilih di pelosok atau tidak yang mesti sudah sangat terang bahwa yang sebenar-benarnya membutuhkan kehadiran guru adalah mereka yang di pelosok. Saya tak bilang, sosok guru yang di kota sebagai yang tak patut dicontoh. Tetapi, saya tak ragu mengatakan bahwa sosok yang berani menerjunkan dirinya ke daerah tertinggal, itulah sosok guru yang sebenar-benarnya. Sosok seperti inilah yang dibutuhkan di negeri ini.

Kata Maruntung suatu kali, “Saya tidak tega meninggalkan anak didikku yang sedang mengalami “musibah pendidikan” karena mereka betul-betul membutuhkan uluran tangan. Andai saya pergi, siapa yang akhirnya memberi mereka “nafkah pendidikan”. Logikanya sederhana. Andai ada orang yang tertabrak mobil, kemudian  pada saat kejadian kita menjadi orang yang satu-satunya berada di lokasi kejadian. Rumah sakit jauh. Orang pun tak ada. Padahal kondisinya sudah sekarat dan butuh pertolongan cepat. Apa yang kita lakukan….”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun