Mohon tunggu...
Muhammad Ridho
Muhammad Ridho Mohon Tunggu... Insinyur - Mahasiswa jurusan jurnalistik, kolumnis, jurnalis, trainer

Jurnalis, kolumnis, trainer

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar Yaa

7 Desember 2019   23:25 Diperbarui: 7 Desember 2019   23:26 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Hari ini bagi rapotkan?," tanya mama, "Iya ma, hari ini bagi rapot," jawab saya.

"Kata Ibu Ana, orang tua murid harus datang ketika pembagian rapot. Mama datang yaa," kata saya, "Ohh iya. Mama ke pasar dulu sebentar, terus baru kesekolah," timbal mama.

Setelah percakapan itu, saya berangkat kesekolah.

Tidak ada kekhawatiran soal nilai rapot, selama ini, saya rajin sekolah, datang diawal waktu, baju dimasukan, rambut disisir, kaos kaki seperti biasa, koas putih dari senin sampai jumat, dan koas hitam di hari sabtu.

Saya gagah saja, melangkah menuju gerbang sekolah, dan sedikit sombong saat ke kelas, jiwa saya berujar, "Rangking satu pasti saya,".

Doa saya ternyata nggak terkabul. Sekitar jam 10 pagi, mama datang ke kelas saya.

Mama fokus mendengar nama-nama yang disebutkan Ibu Ana (wali kelas), ketika nama saya disebutkan, mama terkejut, nama anaknya ada di rangking 30 dari 40 siswa.

Mama maju mengambil rapot saya, pamit dengan Ibu Ana terus pulang. Saya? Hehe, ditinggal mama.

Saat saya mau pulang, teman saya yang rangking satu dapat hadiah, Ibu Ana memuji begini, "Pintar sekali naak. Semangat belajarnya yaa. Belajarnya harus tetap rajin,".

Setelah mendengar pujian Ibu Ana, saya langsung membayangkan kalau yang rangking satu adalah Ridho.

Tapi, impian rangking satu sangat jauh, boro-boro juara, pulang dari sini saya habis nih. Hadeeeh.

Sebenarnya, saya nggak mau pulang, ketika sampai rumah, mama pasti marah ke saya. Belum lagi marahnya ayah, lalu ditambah ceramahnya kakak perempuan saya, bakal jadi sate dirumah.

Walau takut, saya tetap memberanikan diri menuju rumah. Siang itu, rumah serasa menyeramkan, dibenak saya, di dalam rumah seperti ada ular piton yang siap melilit badan, belum lagi harimau laparnya, aduhh kiamat sudah dekat yaa.

Sampailah saya di depan pintu rumah. Saya nggak berani masuk, takutnya itu lohh, kelewatan mbak.

Saat saya mau ngintip kedalam, tiba-tiba suara berat seorang lelaki terdengar, "Ridhoo! Sudah buka sepatunya? Kalau sudah cepat masuk kesini," "Iyaa yah," ucap saya.

Setelah saya membuka pintu, raja dan ratu telah duduk disingga sananya, ehh bukan bukan, maksudnya ayah dan mama sudah duduk dikursi ruang tamu.

Di depan mereka, diatas meja, rapot saya terbuka lebar. Angka-angka merahnya terlihat jelas dari jauh, "Ya Allah, tolong hambamu," mohon saya kepada Yang Maha Penyayang.

Saya diminta duduk, tanpa basa-basi, ayah langsung jadi polisi, beliau siap menginterogasi dan memenjarakan saya. Pasrah deeh.

"Nilai matematika kenapa merah?," tanya ayah, "Saya nggak tahu yah," jawab saya. "Nilai IPA kok kecil?," tanya ayah lagi, "Mungkin Ibu Ana salah ngasih angka yah," timbal saya.

"Kan ayah minta kamu belajar, supaya nilainya besar, kalau begini mama dan ayah malu!," kata ayah, "Saya sudah belajar yah, tapi nggak tahu kenapa bisa rangking 30," jawab saya.

Tidak lama, mama pun ngomong, "Naak belajar. Jangan main terus. Kalau belajar, rangkingnya pasti tidak sampai 30," "Iyaa ma, nanti belajar," ujar saya. "Masak nilainya merah semua," ucap mama, "Iya ma saya minta maaf," jawab saya lagi.

"Ya sudah, kan masih kelas satu sekolah dasar juga, saat naik kelas rangkingnya diperbaiki, inget yaaa belajar," nasihat mama, "Iyaaa maa," kata saya kemudian.

Tatapan ayah masih tajam, ayah lalu menegaskan, "Belajar sungguh-sungguh, katanya mau jadi polisi, yaa harus belajar. Kalau mau masuk polisi, nilainya harus besar, matematika 9, IPA 9, IPS 9, denger nggak?," "Iya yaah," saut saya.

Setelah penyekapan diruang tamu, mama juga ayah pergi keluar rumah, saya tidak tahu mereka kemana.

Keringat tanpa sadar membasahi baju, saya pun berjalan menuju kamar, eeeeeh, kakak perempuan saya kebetulan berada disana, dia langsung bersabda, "Jangan main terus. Belajar keeek," "Heeemm iya iya," jawab saya.

....

Cerita diatas beneran kisah saya, nggak dibuat-buat. Waktu sekolah dasar, nilai rapot saya memang nggak memuaskan. Kalau mama dan ayah melihat rapot saya, tandanya satu, kepala mereka geleng-geleng nggak percaya.

Pembagian rapot jadi pengalaman memacu adrenalin, iyalah, melihat teman masuk tiga besar terus dikasih hadiah, siapa yang tak iri.

Tapi, ada satu hal yang selalu saya tanyakan, "Saya nggak belajar? Apa iyaa? Yang dimaksud belajar mama dan ayah bagaimana?,".

Ini serius, di sekolah dasar, saya sudah memikirkan pertanyaan itu, berulang-ulang kata "belajar" terngiang di kepala, namun jawabannya saya nggak tahu.

Kadang, saat saya bermain bersama teman di lapangan dekat rumah, saya nanya ke mereka, "Ehhh kalian sering nggak diminta belajar sama guru?," "Iya sering," "Selalu begitu emang," "Hemm tiap hari diomongin belajar," jawab mereka.

"Kalian tahu arti belajar?," tanya saya, "Belajar itu ya menghafal," "Belajar? Kalau bisa matematika atau bahasa inggris, itu belajar namanya," "Belajar itu mengulang-mengulang pelajaran nggak sih," "Ngapain belajar, yok main bola, capek tahu belajar, kita ditakdirkan untuk tidak belajar," tambah mereka.

Saya ketawa kalau nanya kawan-kawan, jawaban mereka selalu unik. Kalau saya keseringan nanya soal pembelajaran, mereka biasanya lari.

Kalau saya sih, sepakat saja dengan definisi belajar yang diberikan sahabat-sahabat tadi, namun saya masih bingung.

Yang dimaksud mama, ayah dan kakak perempuan saya tentang belajar yaa seperti apa. Jika belajar menurut keluarga adalah menghafal, pandai kali-kalian atau hitung-hitungan, saya nyerah deh.

Soal hafalan, kali-kalian, pembagian atau hitungan, otak saya tidak sampai. Belajar seperti itu nggak cocok buat saya. Bukannya nggak belajar, saya belajar loh, tapi lagi-lagi, kepala saya tak mampu mencapainya.

Kalau penjelasan belajar seperti tadi, itu belum pas buat anak-anak yang daya ingat dan nalarnya rendah. Kalau belajar dikelas, saya mengertinya lama.

Contohnya begini, guru memberikan rumus matematika, murid dengan ingatan cemerlang mudah pahamnya, laah saya? Nggak ngerti.

Saya mengerti kalau rumusnya diulang sampai 5 kali bahkan lebih, terus dijelaskan pelan-pelan, insyaallah rumusnya masuk, pas pulang lupa lagi.

Saya kasian dengan kawan-kawan yang dikatain bodoh disekolah dasar, termasuk saya. Tapi mau bantahnya gimana, bisa-bisa saya di smackdone sama guru.

Mereka itu, menurut saya, bukan nggak mau belajar, melainkan belum menemukan cara belajar yang tepat. Ketika semangat belajarnya muncul, eehh, hujatan kebencian dengan anak-anak yang lamban mikir datang dari guru.

Gimana nggak nangis coba. Senjata terakhir anak kecil ya air mata. Air matanya jujur, benar-benar sedang dititik bawah.

....

Menurut saya, belajar bukan sekedar menghafal, membaca lancar, bisa kali-kalian atau mengulang-ngulang pelajaran. Belajar yang ini cocok sama murid dengan gen yang pintar, terus orang tuanya selalu memberi semangat.

Bagaimana dengan saya beserta anak-anak yang sinyal mikirnya Axis bukan Telkomsel?

Kalau murid dengan pikiran Telkomsel (cepat menangkap pelajaran) yaa enak, tinggal paketnya diisi (kesekolah), sinyalnya penuh (pasti pinter).

Yang mikirnya kartu Axis? Yaa bengong. Nunggu sinyal bagus (ketemu guru pengertian), browsingnya baru lancar (belajarnya nyambung).

Untuk murid seperti saya, penjelasan belajarnya bukan seperti yang dipaparkan sebelumnya. Belajar versi saya ialah belajar menurut Tokoh Pendidikan Amerika Latin (Brasil), Paulo Freire.

Dalam bukunya, Politik Pendidikan (kebudayaan, kekuasaan dan pembebasan), Freire memaparkan jika belajar bukan sekedar murid mendengar guru, lalu menghafal apa yang dikatakan guru. Tidak segampang itu kata Freire.

Belajar lanjut Freire, adalah memecahkan masalah dan menemukan ide baru.

Maksudnya begini, ketika siswa belajar, mereka tidak diarahkan untuk duduk dibangku, diam dikelas, jajan pas keluar main dan balik kerumah.

Seharusnya, saat murid belajar, ajak mereka supaya bergerak, berdiskusi, berpikir, memecahkan masalah, menghadapi tantangan dan memberi solusi dikelas.

Kalau pendapat saya, belajar seperti ini memang efektif. Manfaatnya banyak, misalnya, siswa tidak takut mencoba, mentalnya terbangun, percaya dirinya bertambah, potensinya muncul dan beraninya seperti singa.

Saya bukan berwacana loh yaa, dari 2013 sampai sekarang, saya tidak henti-hentinya fokus di bidang pendidikan.

Selama itu pula saya berpikir keras, berpikir keras apanya? Yaa mendalami teologi pendidikan, memahami pemikiran tokoh-tokoh pendidikan, mencari metode belajar yang baik, dan menerapkan apa yang saya pelajari di kelas.

Saya hampir gila mbak. Tapi Alhamdulillah, stress saya nggak sia-sia. Akhirnya, saya menemukan arti belajar yang sesuai untuk adik-adik saya di organisasi. Belajar mananya? Iya belajar menurut Paulo Freire, belajar yang membebaskan.

Jadi, ketika mama nanya, "Naak belajar!," saya langsung jawab, "Belajar yang bagaimana ma? Belajar menghafal, menghitung, membagi, berkali, atau menemukan potensi diri?,".

Cara diatas jangan dipakai, bahaya, kalau teman-teman berani menjawab seperti itu ke emak dan bapak, akibatnya tanggung sendiri yaa. Hehe.

Muhammad Ridho
6 Desember 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun