Sebenarnya, saya nggak mau pulang, ketika sampai rumah, mama pasti marah ke saya. Belum lagi marahnya ayah, lalu ditambah ceramahnya kakak perempuan saya, bakal jadi sate dirumah.
Walau takut, saya tetap memberanikan diri menuju rumah. Siang itu, rumah serasa menyeramkan, dibenak saya, di dalam rumah seperti ada ular piton yang siap melilit badan, belum lagi harimau laparnya, aduhh kiamat sudah dekat yaa.
Sampailah saya di depan pintu rumah. Saya nggak berani masuk, takutnya itu lohh, kelewatan mbak.
Saat saya mau ngintip kedalam, tiba-tiba suara berat seorang lelaki terdengar, "Ridhoo! Sudah buka sepatunya? Kalau sudah cepat masuk kesini," "Iyaa yah," ucap saya.
Setelah saya membuka pintu, raja dan ratu telah duduk disingga sananya, ehh bukan bukan, maksudnya ayah dan mama sudah duduk dikursi ruang tamu.
Di depan mereka, diatas meja, rapot saya terbuka lebar. Angka-angka merahnya terlihat jelas dari jauh, "Ya Allah, tolong hambamu," mohon saya kepada Yang Maha Penyayang.
Saya diminta duduk, tanpa basa-basi, ayah langsung jadi polisi, beliau siap menginterogasi dan memenjarakan saya. Pasrah deeh.
"Nilai matematika kenapa merah?," tanya ayah, "Saya nggak tahu yah," jawab saya. "Nilai IPA kok kecil?," tanya ayah lagi, "Mungkin Ibu Ana salah ngasih angka yah," timbal saya.
"Kan ayah minta kamu belajar, supaya nilainya besar, kalau begini mama dan ayah malu!," kata ayah, "Saya sudah belajar yah, tapi nggak tahu kenapa bisa rangking 30," jawab saya.
Tidak lama, mama pun ngomong, "Naak belajar. Jangan main terus. Kalau belajar, rangkingnya pasti tidak sampai 30," "Iyaa ma, nanti belajar," ujar saya. "Masak nilainya merah semua," ucap mama, "Iya ma saya minta maaf," jawab saya lagi.
"Ya sudah, kan masih kelas satu sekolah dasar juga, saat naik kelas rangkingnya diperbaiki, inget yaaa belajar," nasihat mama, "Iyaaa maa," kata saya kemudian.