Aku tak merespon. Aku masih menunggu dirinya stabil.
Ia bangun dari ranjang tidurnya. Ia memberiku telepon genrggamnya. Aku terdiam. Ia seperti mengisyaratkan sesuatu. Aku makin terdiam dan hanyut dalam layar kaca telepon genggam itu. Pipiku basah. Hatiku tersayat . Aku merasa berduka.
“Kau paham?” katanya, masih terisak.
Kami berdua menangis. Betapa kejam si pengirim pesan singkat ini. Dalam pesan tersebut tertuliskan ungkapan permohonan maaf karena pembatalan sebuah acara pernikahan.
Aku tak berani berkata-kata. Senyumku membeku
Laki-laki itu membatalkan pernikahannya dengan sahabatku. Dalam pesan itu, ia juga mengatakan bahwa laki-laki itu telah memutuskan hubungan mereka yang telah dijalani selama lima tahun belakangan. Lusa mereka akan menikah. Ia pergi. Tak dapat melanjutkan untuk menjadi pengantin laki-laki pada perayaan tersebut.
Namun, yang membuatku begitu terluka, ia mengatakan akan bersedia meminta sahabat laki-laki mereka untuk menggantikan posisinya saat pernikahan, jika ia menghendaki.
“Kau tahu sekarang rasanya terluka? Aku sudah tak punya harapan lagi. Aku benci laki-laki yang tak bertanggung jawab—tak setia—dan tak memahami perasaanku”
Aku memeluknya. Tak sanggup aku berkata-kata. Aku hanya mematung. Ku biarkan diriku masuk dalam kegelapan malam. Ku biarkan diri kami menyatu dalam kelukaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H