Mohon tunggu...
R. Rido Ibnu Syahrie
R. Rido Ibnu Syahrie Mohon Tunggu... -

Veteran Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Berburu Veteran Politik Golkar

28 April 2015   16:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:35 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Aksi pemecatan pengurus Partai Golkar yang dilakukan kelompok Abrurizal Bakrie (ARB) merambat hingga ke Kalbar. Melalui surat yang ditandatangani H Morkes Effendi SPd MH dan Sekretaris H Adang Gunawan SE, memberhentikan Ir H Prabasa Anantatur MH dari kepengurusan, sekaligus rolling jabatan di DPRD Provinsi Kalbar, Senin (20/04/2015).

Tindakan memberhentikan dari kepengurusan itu juga dilakukan kepada Hadlir Noor, Ratna, Buyung dan Inosensius. Sedangkan tiga orang lainnya, Ibrahim (Kayong Utara), Masdar (Kubu Raya) dan Yohanes Pasti (Bengkayang) diberhentikan dan sekaligus digantikan caretaker. Mereka yang diberhentikan itu dianggap mendukung kepengurusan PG kubu Agung Laksono versi Munas Ancol.

Dalam surat bernomor B-08/GOLKAR-KB/4/2015, Prabasa diberhentikan dari kepengurusan sebagai Wakil Ketua Bidang Organisasi DPD Partai Golkar Provinsi Kalbar Periode 2009-2015. Surat kedua di hari yang sama bernomor B-13/GOLKAR-KB/4/2015 perihal rolling jabatan dari posisi Badan Kehormatan di DPRD Provinsi Kalbar dan digantikan anggota dari Fraksi Golkar, Zulkarnaen Siregar SH.

Meskipun tidak mempengaruhi posisi yang bersangkutan sebagai anggota Dewan, namun dari sisi legalitas surat patut dipertanyakan, sebab mengatasnamakan kepengurusan DPD Golkar Provinsi Kalbar yang sesungguhnya dalam status quo, tidak boleh mengambil kebijakan yang sifatnya permanen.

Ini kaitannya dengan rentetan dari disahkan kepengurusan Golkar pimpinan Agung Laksono (AL) oleh Menkumham. Selanjutnya kubu ARB hasil Munas Bali memperkarakan susunan kepengurusan kubu AL tersebut ke PTUN. Hasilnya, PTUN memutuskan menunda kepengurusan Pimpinan Pusat Golkar. Perkara tersebut belum mendapatkan kekuatan hukum tetap atau belum inkrah.

Kendati pemecatan itu dianggap ilegal oleh kubu AL, namun hal ini menunjukkan sikap tidak bijak di tengah situasi yang belum menentu dari aspek legalitas kepengurusan partai. Sekaligus mencerminkan pola kepemimpinan Golkar Kalbar selama ini di bawah kendali Morkes Effendi menerapkan pola ‘tangan besi’ tanpa mengakomodir semua pihak dan golongan. Ini sangat jauh dari platform Golkar sebagai parpol yang terbuka dan egaliter. Kenyataannya justru pengurus dan kader yang potensial mendulang suara partai malah dihabisi.

Fakta yang tidak dapat dipungkiri, Golkar Kalbar telah terpuruk pada Pemilu 2014 dan beberapa penyelenggaraan Pilkada di daerah. Tidak ada dalam sejarah sebelumnya seorang pimpinan setingkat Ketua DPD provinsi yang gagal menjadi anggota legislatif. Morkes Effendi beserta sekretarisnya, Adang Gunawan nyatanya mengalami kekalahan alias tidak mendapatkan suara cukup untuk menjadi legislator. Alhasil, dari Dapil Kalbar hanya mendudukkan satu orang di DPR-RI yakni Ir H Zulfadhli MM yang merupakan mantan Ketua DPD Golkar Kalbar.

Kegagalan tersebut menorehkan catatan merah yang sama seperti halnya kekalahan pada Pemilihan Gubernur 2012. Lagi-lagi Ketua DPD Golkar Morkes Effendi yang menjadi calon gubernur ternyata kandas, menuai kekalahan. Dari sisi perolehan suara di Kalbar, Golkar semakin jauh tertinggal dibandingkan Pemilu 2009 dan Pemilu sebelumnya yang selalu menjadi pemenang. Pada Pemilu 2014 hanya mengantongi 348.986 suara dibawah PDIP yang mendulang 817.770 dengan mendudukkan 3 orang menjadi anggota DPR-RI.

Dengan demikian, pemberhentian sejumlah pengurus oleh kubu ARB versi Munas Bali yang diikuti beberapa DPD provinsi termasuk Kalbar, akan menjadi preseden buruk bagi Golkar. Idealnya tidak terjadi pengekangan kepada kader maupun pengurus untuk berada di kubu yang mana, apakah ARB atau AL.

Sebab semuanya masih Golkar dan terpenting adalah Partai Golkar secara kelembagaan yang sah berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap dan diakui negara. DPD PG Provinsi Kalbar kubu ARB seharusnya mengambil pelajaran dari kebanyakan provinsi lain yang menyikapi bijak arah dukungan. Alangkah lebih baik fokus ke agenda Pilkada serentak di enam kabupaten meliputi Kapuas Hulu, Sintang, Melawi, Sekadau, Sambas, Bengkayang dan Ketapang.

Veteran politik

Upaya berebut kekuasaan di tingkat pusat yang diikuti elit Golkar di Kalbar mendatangkan efek negatif. Masing-masing memiliki konstituen atau massa pendukung, terutama figure yang duduk sebagai legislator. Misalnya saja para pendukung Prabasa di daerah pemilihannya, Sambas.

Bermacam-macam respons yang disampaikan dengan pemahaman masing-masing. Ada yang mengira, pemecatan itu berdampak pada pemberhentian dari kedudukan sebagai legislator. Ada juga yang marah karena tidak terima dikatakan pengkhianat partai. Setidaknya, dapat menimbulkan reaksi massa.

Golkar Kalbar sangat disayangkan tidak meniru kepemimpinan di Golkar Palembang dan Ujung Pandang atau daerah lainnya yang tidak terpengaruh untuk saling berseberangan. Konflik di tingkat pusat berhasil direduksi dengan cara penggalangan untuk mempertahankan Golkar, bukan fokus kepada dukungan personal ARB atau AL. Massa Golkar diturunkan untuk aksi simpatik menyongsong Pemilukada serentak. Tidak ada label ARB maupun label AL. Yang ada hanyalah sikap menunggu kubu mana yang resmi dan diakui negara.

Patut diakui, langkah yang dilakukan Morkes adalah bukti konsistensinya memegang prinsip walaupun ditafsirkan sebagai kekuasaan tangan besi. Tetapi dalam berpolitik tentu saja memerlukan kelenturan sikap dan tindakan dengan merangkul semua pihak.

Nasi sudah menjadi bubur. Masing-masing elit politik dan simpatisan Golkar di Kalbar telah menjadi korban elit di pusat. Padahal pusaran politik di pusat terlihat semakin menunjukkan kegilaannya. Dari konflik yang diciptakan berdampak Golkar menjadi kerdil.

Akan kemana kubu ARB jika ternyata dinyatakan ilegal? Bisa jadi ada partai lain seperti Gerindra yang siap menampung ‘veteran’ politisi Golkar kubu ARB. Maka Gerindra akan bertambah besar dan kuat. Atau mungkin saja Partai Bulan Bintang (PBB) yang telah menyiapkan posisi untuk para veteran politik itu.

Sebaliknya, apabila kubu AL yang justru dinyatakan ilegal dan kepengurusan ARB yang diakui, maka ‘veteran’ politisi Golkar kubu AL siap ditampung partai baru, atau boleh jadi memperkuat barisan Partai Nasdem. Historisnya sudah jelas karena si Mpu Partai Nasdem yakni Surya Paloh (SP) adalah musuh bebuyutan ARB di suksesi 2009, tetapi lunak dengan AL. Ibarat kapal besar pecah, hiu yang pesta pora.

Apapun hasil akhir putusan, Golkar tetap menjadi kerdil. Mungkin inilah antiklimaks dari perjalanan Partai Golkar yang dulunya pernah menjadi ‘single majority’, kemudian berganti paradigma dan masih tetap besar. Sampai akhirnya mengecil tergerus kepentingan dari pertarungan politik yang tak pernah habis. Hanya mukjizat yang bisa menyelamatkan Golkar jika kenyataannya nanti masih tetap menjadi partai besar selain PDIP, Gerindra, Nasdem, PPP dan PAN.

Intervensi pemerintah

Bukan tanpa sebab bagi Agung Laksono membuat Munas tandingan hingga Golkar terbelah menjadi dua, versi Munas Bali dan versi Munas Ancol. Saling lapor dan saling gugat ditambah adu kuat opini di media massa hanyalah bumbu penyedap. Putusan ini dan putusan itu dari lembaga peradilan, hanyalah lips service.

Yang ada hanyalah kepentingan individu, kelompok dan dalam lingkup luas adalah kepentingan negara dan penguasa. Siapa yang berkuasa saat ini dan diusung partai mana, bukanlah rahasia. Sekuat apapun disangkal adanya keterlibatan pemerintah dalam konflik Golkar, maka publik tetap saja memberikan stigma ‘ada kepentingan pemerintah’. Salahsatunya melalui kebijakan menteri Hukum dan HAM.

Jika ini yang terjadi, maka sangat mustahil bagi kubu ARB memenangkan pertarungan. Bagaimanapun pemerintah memiliki alat kelengkapan yang kuat. Termasuklah dalam hal kekuasaan kehakiman, dimana persoalan Golkar mampir ke pengadilan. Hukum sebagai panglima, masih sebatas jargon saat kekuatan politik dan kekuasaan begitu mendominasi.

Konflik Golkar bukan sesuatu yang aneh. Bedanya, didesain secara vulgar. Padahal sebelumnya juga pernah terjadi menimpa partai politik lain. Selalu ada campur tangan dari pihak eksternal yang ingin mengkerdilkan partai tertentu. Hampir dapat dipastikan, semua ini tidak terlepas dari pengaruh penguasa.

Fakta sejarah sejak pemerintahan di Indonesia. Misalnya saja, PDI Perjuangan yang ada sekarang adalah hasil metamorfosa dari konflik yang dulunya juga dipecah belah di tingkat internal. Ada juga konflik di internal kepengurusan PKB di zaman SBY.

Di era Joko Widodo yang designer-nya Megawati dan SP, justru semakin banyak Parpol yang pecah belah. Ini lantaran munculnya dua kekuatan politik dalam barisan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP). Akibatnya, Parpol yang tergabung dalam KMP dalam posisi tidak aman. Hal ini yang juga menimpa Partai Persatuan Pembangunan. (catatan pinggir R. Rido Ibnu Syahrie)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun