Mohon tunggu...
Rido Nugroho
Rido Nugroho Mohon Tunggu... Lainnya - Public Policy and ESG Enthusiast

Tulisan adalah awal dari perubahan, tulisan dapat memengaruhi pikiran, hati, dan tindakan orang banyak. Semua dimulai dari tulisan untuk merubah dunia yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengejar Pertumbuhan Ekonomi 8% dengan Pengaturan Impor

9 November 2024   06:41 Diperbarui: 9 November 2024   06:49 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Untuk mencapai status negara maju, Indonesia perlu mengatasi tantangan besar yakni keluar dari "jebakan" pertumbuhan ekonomi yang stagnan di kisaran 5%. Presiden Prabowo telah menetapkan target pertumbuhan yang ambisius, yaitu mencapai 8% per tahun.

Namun, data menunjukkan bahwa dalam dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan berada di sekitar angka 5%. Hal ini menunjukkan adanya kendala struktural yang perlu segera diatasi.

tradingeconomics
tradingeconomics

Pertumbuhan sebesar 5% memang cukup baik untuk menjaga stabilitas ekonomi, namun tidak cukup untuk mencapai lonjakan pembangunan infrastruktur, pengurangan kemiskinan secara signifikan, dan transformasi ekonomi yang dibutuhkan untuk mencapai status negara maju.

Oleh karena itu, upaya peningkatan pertumbuhan hingga 8% memerlukan perubahan kebijakan yang strategis, termasuk pada pengaturan impor yang lebih efektif.

Deindustrialisasi yang Terlalu Cepat

Salah satu penyebab utama stagnasi pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah fenomena deindustrialisasi yang terjadi terlalu cepat. Pada awal dekade 2000-an, sektor industri manufaktur masih menjadi tulang punggung perekonomian, dengan kontribusi mencapai 28% terhadap PDB pada tahun 2003. Namun, pada tahun 2023, kontribusi sektor ini turun drastis menjadi hanya 18%.

worldbank
worldbank

Penurunan ini menunjukkan adanya pergeseran ekonomi dari sektor manufaktur ke sektor jasa yang kurang produktif, yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Deindustrialisasi yang prematur ini mengakibatkan berkurangnya kemampuan sektor manufaktur dalam menyerap tenaga kerja dan menciptakan nilai tambah yang tinggi.

Padahal, sektor manufaktur memiliki potensi besar dalam menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan ekspor, sehingga diperlukan kebijakan yang proaktif untuk merevitalisasi industri ini.

Rumus dasar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi adalah dengan meningkatkan investasi, mendorong ekspor, dan mengendalikan impor. Ketika impor dapat dikendalikan dengan baik, industri manufaktur dalam negeri akan memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh dan berkembang.

Dengan berkurangnya ketergantungan pada barang impor, akan tercipta ruang bagi peningkatan investasi di dalam negeri serta peningkatan konsumsi masyarakat. Hal ini pada akhirnya akan memperkuat daya saing produk dalam negeri untuk ekspor, mengurangi defisit perdagangan, serta memperkuat cadangan devisa negara.

Dalam konteks ini, pengaturan impor yang tepat akan menjadi katalis untuk meningkatkan produktivitas dan kapasitas industri dalam negeri.

Membangun Industri Dalam Negeri Melalui Kebijakan Pengaturan Impor

Untuk membangun industri yang kuat, diperlukan kebijakan pengaturan impor yang selaras dengan strategi industrialisasi nasional. Pengaturan impor yang baik tidak hanya berfokus pada pembatasan volume barang masuk, tetapi juga harus bertujuan untuk menciptakan ekosistem yang mendukung produksi dalam negeri.

Dengan mengendalikan impor secara selektif, produk-produk dalam negeri akan mendapatkan akses lebih besar ke pasar domestik. Hal ini pada gilirannya akan memacu pengusaha lokal untuk berinvestasi lebih besar dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas produk mereka, serta mendorong inovasi dalam proses produksi.

Sayangnya, kebijakan impor saat ini belum terintegrasi sepenuhnya dengan kebijakan untuk mendorong sektor perdagangan dalam negeri. Saat ini, kebijakan impor lebih fokus pada pembatasan persetujuan impor tanpa mempertimbangkan bagaimana produk impor tersebut dapat disubstitusi oleh produk dalam negeri.

Kondisi ini seringkali menimbulkan masalah inflasi ketika pemerintah mengurangi volume impor tanpa memastikan ketersediaan produk dalam negeri yang memadai. Akibatnya, harga barang-barang tertentu di pasar domestik meningkat, sehingga daya beli masyarakat menurun.

Oleh karena itu, diperlukan strategi yang lebih komprehensif dalam mengatur impor, termasuk merangsang produksi barang substitusi di dalam negeri.

Ketidakselarasan Kebijakan Pengaturan Impor

Data dalam dua tahun terakhir menunjukkan tren peningkatan impor barang konsumsi, sementara impor bahan baku justru menurun. Kondisi ini dapat diasumsikan bahwa terjadi penurunan aktivitas produksi di dalam negeri karena kurangnya bahan baku yang diimpor.

Badan Pusat Statistik
Badan Pusat Statistik

Padahal, impor bahan baku sangat diperlukan untuk mendukung proses produksi industri manufaktur domestik. Penurunan impor bahan baku ini menjadi indikator adanya hambatan dalam proses produksi yang perlu segera diatasi. Jika tren ini berlanjut, maka akan mengancam keberlangsungan industri dalam negeri dan meningkatkan ketergantungan pada produk impor jadi.

Contoh nyata dari tidak terintegrasinya kebijakan impor dan pengembangan industri dalam negeri dapat dilihat pada sektor tekstil dan baja. Meskipun pemerintah menerapkan kebijakan ketat untuk membatasi impor tekstil dan baja, kenyataannya banyak pabrik tekstil yang mengalami penutupan, dan industri baja domestik tidak menunjukkan pertumbuhan yang signifikan.

Hal ini menunjukkan bahwa pembatasan impor saja tidak cukup untuk mendorong pertumbuhan industri. Diperlukan kebijakan yang mendukung industri domestik dalam meningkatkan kapasitas dan kualitas produksinya, serta memberikan insentif yang mendorong inovasi dan efisiensi.

Membangun Kebijakan Impor yang Terintegrasi

Salah satu contoh kebijakan substitusi impor yang berhasil adalah pada industri ponsel. Pada tahun 2013, pemerintah menerbitkan regulasi yang melarang impor ponsel jadi, yang mulai berlaku pada tahun 2015.

Kebijakan ini mendorong produsen ponsel global untuk merelokasi pabriknya ke Indonesia guna memenuhi permintaan pasar domestik. Dampaknya, terjadi peningkatan kapasitas produksi lokal, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan transfer teknologi.

Keberhasilan kebijakan ini menunjukkan bahwa pengaturan impor yang strategis dapat menciptakan ekosistem industri yang lebih kompetitif dan berkelanjutan di dalam negeri.

Kebijakan impor harus dirancang secara terintegrasi, bukan hanya fokus pada pembatasan volume impor seperti yang dilakukan saat ini. Pemerintah perlu mengembangkan pendekatan yang mempertimbangkan ketersediaan produk di dalam negeri.

Dengan mencontoh kebijakan pada industri ponsel, pemerintah dapat memanfaatkan data impor untuk mengidentifikasi produk-produk yang berpotensi dikembangkan di dalam negeri. Melalui analisis data impor yang komprehensif, pemerintah dapat menentukan sektor-sektor mana yang memiliki potensi substitusi impor yang tinggi dan memberikan insentif bagi investasi di sektor tersebut.

Dengan demikian, pengaturan impor bukan hanya akan mengurangi ketergantungan pada barang luar negeri tetapi juga mendorong pertumbuhan industri dalam negeri dan mencapai target pertumbuhan ekonomi 8%.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun