Dalam psikologi pemasaran semakin sering suatu produk dilihat dan dikenal maka semakin besar pula kemungkinan untuk dibeli. Mungkin prinsip ini yang dipegang oleh para politisi yang memenuhi jalanan dengan baliho potret wajah mereka.
Dari pigura persegi panjang berukuran besar itu para politisi menyampaikan hasratnya agar dikenal dan diingat. Seperti baliho iklan produk, baliho para politisi berusaha memengaruhi psikologis masyarakat untuk mengingat dan memilih mereka.
Dalam survey yang dilakukan oleh kompas 68,9 persen masyarakat akan tetap pada pilihan politik mereka dan tidak terpengaruh oleh iklan politik termasuk baliho para politisi, namun hal ini tidak menyurutkan minat para politisi untuk terus menjadikan jalan raya seperti fan page mereka di Facebook.
Para politisi ini mengharap like atau comment agar bisa terkenal dan dengan itu punya kepercayaan diri ikut pemilihan presiden dua tahun mendatang.
Dalam Majalah Tempo terbitan 21 Agustus 2021, total billboard dan baliho dengan wajah Airlangga Hartarto hampir mencapai 2.500 titik di seluruh Indonesia. Sementara untuk Puan Maharani telah mencapai 1.911 billboard.
Tentu ini merupakan hak politik para politisi. Sayangnya, momentum yang mereka pilih untuk meningkatkan popularitas tidaklah tepat. Di tengah kondisi pandemi, usaha para politisi yang berlomba-lomba untuk meletakan wajah mereka di setiap sudut jalan itu sama sekali tak menunjukan rasa empati terhadap penderitaan masyarakat yang kelak akan mereka butuhkan suaranya.
Memenuhi tempat-tempat publik dengan wajah mereka rasanya sudah ketinggalan zaman. Entah informasi bermanfaat apa yang bisa kita peroleh dari sederet baliho berisi wajah narsis para politisi. Ketika masyarakat butuh panduan dan bantuan nyata, adu kuat baliho para politisi menunjukan betapa berjaraknya politisi dengan realitas kehidupan masyarakat.
Fakta ini sekaligus mengkonfirmasi tingginya biaya politik seorang politisi agar bisa dikenal masyarakat hingga akhirnya dipilih. Hal ini tentu memicu para politisi terperangkap dalam perangkap elektoral, untuk menaikan elektoral diperlukan modal dan investasi besar dari para cukong.
Kondisi ini pada akhirnya membuat kebijakan yang mereka buat berorientasi pada pengembalian investasi yang seringkali bertolak belakang dengan kepentingan masyarakat.
Oleh karenanya transparansi dana politik sangatlah penting, partai politik maupun para kandidat harus melaporkan sumber pendanaan mereka dan bersedia untuk diaudit. Tanpa itu para cukong bisa menyandera para pejabat dalam setiap pembuatan kebijakan.
Indonesia harus keluar dari perangkap politik elektoral. Pemimpin tidak boleh dipilih karena mampu memasang banyak baliho di setiap sudut jalan, melainkan karena rekam jejak dan gagasan yang cemerlang
Kesan kurang empatinya para politisi yang kampanye politik di kondisi pandemi diperparah dengan minimnya peran dan kinerja para politisi, bahkan masyarakat lebih mudah menemukan baliho mereka ketimbang merasakan hasil kerja nyata mereka selama pandemi, terlebih mereka yang saat ini sedang menjabat sebagai pejabat publik.
Pandemi ini seharusnya menjadi momentum untuk para politisi yang kelak menjadi pemimpin Indonesia selanjutnya, mereka harus menunjukan kualitas mereka sebagai pelayan rakyat yang mumpuni.
Pertarungan gagasan untuk menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat perlu didorong agar publik bisa mengenal dan mempertimbangkan siapa yang terbaik. Semua itu tak bisa dilakukan lewat adu kuat pasang baliho yang berisi himbauan normatif ataupun slogan yang tak penting bagi masyarakat.
Respon publik yang cenderung negatif atas maraknya iklan politik di jalanan, seharusnya menjadi bahan refleksi bagi para politisi yang masih terus mencari kesempatan berkampanye di saat pandemi.
Pada akhirnya, masyarakat lebih membutuhkan upaya-upaya konkret dalam mengatasi pandemi beserta dampaknya. Apalagi beberapa politisi narsis tersebut masih menjabat sebagai pejabat publik yang seharusnya mereka manfaatkan untuk fokus menolong masyarakat di masa sulit ini.
Baliho adalah alat pemasaran khas para politisi, alat yang mudah diulang-ulang agar diingat masyarakat. Baliho menawarkan wajah yang tak bersuara, ini identik dengan sebagian politisi negeri ini yang diam dan tak memberi solusi atas permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H