Kesan kurang empatinya para politisi yang kampanye politik di kondisi pandemi diperparah dengan minimnya peran dan kinerja para politisi, bahkan masyarakat lebih mudah menemukan baliho mereka ketimbang merasakan hasil kerja nyata mereka selama pandemi, terlebih mereka yang saat ini sedang menjabat sebagai pejabat publik.
Pandemi ini seharusnya menjadi momentum untuk para politisi yang kelak menjadi pemimpin Indonesia selanjutnya, mereka harus menunjukan kualitas mereka sebagai pelayan rakyat yang mumpuni.
Pertarungan gagasan untuk menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat perlu didorong agar publik bisa mengenal dan mempertimbangkan siapa yang terbaik. Semua itu tak bisa dilakukan lewat adu kuat pasang baliho yang berisi himbauan normatif ataupun slogan yang tak penting bagi masyarakat.
Respon publik yang cenderung negatif atas maraknya iklan politik di jalanan, seharusnya menjadi bahan refleksi bagi para politisi yang masih terus mencari kesempatan berkampanye di saat pandemi.
Pada akhirnya, masyarakat lebih membutuhkan upaya-upaya konkret dalam mengatasi pandemi beserta dampaknya. Apalagi beberapa politisi narsis tersebut masih menjabat sebagai pejabat publik yang seharusnya mereka manfaatkan untuk fokus menolong masyarakat di masa sulit ini.
Baliho adalah alat pemasaran khas para politisi, alat yang mudah diulang-ulang agar diingat masyarakat. Baliho menawarkan wajah yang tak bersuara, ini identik dengan sebagian politisi negeri ini yang diam dan tak memberi solusi atas permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H