Mohon tunggu...
Rido Nugroho
Rido Nugroho Mohon Tunggu... Lainnya - Public Policy and ESG Enthusiast

Tulisan adalah awal dari perubahan, tulisan dapat memengaruhi pikiran, hati, dan tindakan orang banyak. Semua dimulai dari tulisan untuk merubah dunia yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kekerasan Simbolik dalam Setiap Aksi Terorisme

2 April 2021   16:02 Diperbarui: 2 April 2021   16:03 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sungguh terorisme tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun dan memaksakan keyakinan yang diyakini kepada orang lain bukanlah ajaran islam.

Apa yang ditampilkan kepada kita setiap ada pemberitaan terorisme ? saya yang beragama islam juga melihat itu, para teroris itu berjenggot, celananya cingkrang, jilbabnya panjang.

Selain tampilan fisik, ditampilkan pula kepada kita surat wasiat perjuangan atas nama jihad, buku-buku keagamaan bertema jihad dan berbagai simbol lain yang menunjukan si pelaku terorisme adalah orang yang taat beragama.

Salahkah media memberitakan fakta ? tentunya tugas media adalah menginformasikan fakta, namun ketika fakta tersebut diamplifikasi secara berlebihan akan membentuk opini bahwa ajaran islam penuh kekerasan dan melahirkan bibit terorisme.

Dalam suatu pemberitaan cara berpakaian, berbagai atribut dan background si pelaku terorisme seperti surat wasiat, buku bacaan, pasangan suami-isteri, wanita, usia muda adalah hal-hal yang lebih mudah viral dan cepat ditangkap pesannya oleh masyarakat.

Padahal sekian banyak ajaran dalam islam yang melarang terorisme, namun informasi ini cenderung dianggap informasi biasa dan kurang memiliki magnitude (daya Tarik) pemberitaan untuk diangkat..

Kondisi ini membuat simbol-simbol keislaman selalu dikaitkan dengan teroris, bahkan di negara mayoritas islam seperti Indonesia. Saya menganggap hal ini adalah kekerasan simbolik yang mengkin secara sengaja atau tidak sengaja diciptakan. Terlepas sengaja atau tidak, namun hasil dari kekerasan simbolik ini adalah islamophobia (ketakutan terhadap islam).

Orang - orang yang menggunakan atribut keislaman seperti jenggot, celana cingkrang, jilbab panjang atau bahkan cadar dianggap sebagai kelompok masyarakat intoleran yang berpotensi membawa bibit terorisme. Bahkan adapula orang islam yang meyakini hal tersebut dan menjadikan pembenaran untuk misalnya meninggalkan kewajiban menutup aurat.

Wahai kalian para teroris yang mengaku perbuatan kalian adalah jihad, sungguh kalian tidak hanya menyebabkan korban fisik akibat ledakan yang kalian buat. Tapi kalian juga menyisakan "luka non fisik" bagi seluruh umat islam yang berupa stigma negatif tentang ajaran islam dan simbol keislamannya.

Padahal islam sangat menghargai nyawa seorang manusia, bahkan mengibaratkan membunuh seseorang manusia tanpa alasan dosanya setara membunuh seluruh manusia dan barangsiapa memelihara kehidupan seseorang sama memeliahara kehidupan seluruh umat manusia.

Sayangnya porsi pemberitaan tentang temuan bahwa pelaku terorisme selalu kental dengan simbol keislaman lebih besar dibandingkan fakta bahwa ajaran islam melarang aksi terorisme. Kondisi tidak proporsional ini cendrung menjadi bentuk kekerasan simbolik yang menciptakan pembentukan opini.

Menurut saya porsi edukasi tentang ajaran islam yang sesungguhnya jauh lebih penting. Dengan porsi yang lebih besar tersebut justru media berperan dalam mencegah penyebaran bibit terorisme.

Sementara itu kekerasan simbolik yang membentuk opini justru lebih mengarah pada penciptaan disintegrasi dan pembelahan di masyarakat. Pembelahan tersebut membuat modal sosial yaitu keakraban bermasyarakat menjadi semakin renggang.

Teringat perkataan tetangga saya yang beragama non islam, saya lebih respect sama orang islam yang tidak berjilbab bajunya sopan tapi ramah sama orang lain. Padahal yang jadi masalahnya kan tidak ramahnya bukan jilbabnya, emang jilbabnya salah apa ? Namun saya bisa memaklumi hal tersebut, mungkin inilah salah satu hasil dari kekerasan simbolik yang menyebabkan pembentukan opini.

Indonesia sekian lama menjadi negara yang masyarakatnya beragam tapi tetap bisa rukun hidup berdampingan. Maka selayaknya media dan para tokoh publik berhenti melakukan pembentukan opini dalam setiap aksi terorisme untuk menjaga kerukunan bangsa. .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun