Mohon tunggu...
Nurul Hasanah
Nurul Hasanah Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis dengan latar belakang pelukis

peneliti

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tuhan Lindungi Aku dari Godaan Facebook

4 Maret 2016   21:56 Diperbarui: 4 Maret 2016   22:00 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Malam ini, sehabis makan malam saya mulai tulisan ini tentang sesuatu yang sesungguhnya tidak penting untuk ditulis, apalagi dibaca. Perlahan-lahan dan terasa kian lambat saja aku berjuang mencari bentuk-bentuk dalam alam pikiranku begitu samar kulihat. Setelah kuhidupkan laptop ini, rasanya seperti ditodong dengan banyak pertanyaan. Diantaranya, “Kamu mau menulis apa dan untuk siapa tulisanmu,masih adakah orang yang mau membacanya”.Perlahan-lahan aku mencoba menahan nafas yang sedari tadi sesak rasanya di dada.Sampai disini, sebatang rokok putih sudah menjadi puntung yang tergeletak  dalam asbak rokok di atas meja.

Jemari tanganku tiba-tiba harus berhenti untuk menindis tuts keyboard laptop.Aku kembali berpikir mau menulis apa dan untuk apa saya melakukan pekerjaan ini lagi.Yang pasti saya harus melakukan ini meskipun terasa berat untuk mulai lagi di titik nol.Saya tidak akan menjawab todongan pertanyaan yang saya sendiri tidak tahu dating darimana.Tetapi pertanyaan itu hadir bagaikan hantu menakutkan terbayang di depan layar laptopku.

Sedari tadi sore pikiranku terus diusik untuk menulis ini, sembari menikmati segelas kopi bersama seorang orang teman di Warung Kopi KNPI Kolaka, Sulaeman AL, SE namanya tapi saya kerap memanggilnya dengan Leman saja. Usianya masih muda tapi memiliki pengalaman organisasi yang tidak bisa dipandang sebelah mata.Pasalnya, organisasi sebesar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) untuk di Kolaka dialah yang membawa organisasi yang disegani dan karena itu pula dia bisa saya sebut sebagai orang pergerakan.Di kalangan aktifis dan pendemo di Kolaka namanya tidak asing lagi. Tapi kali ini, saya bertemu di warkop KNPI Kolaka tidak dalam rangka bicara soal penting. Kami berdua, membuka tema diskusi hasil bacaan serta kajian pemikiran yang sering dipostingnya di media social, kebetulan dia aktif mengtuwit hasil pemikirannya dan saya mengikutinya.

Sambil bercerita dengan durasi singkat, dia kelihatan terdiam lama setelah menyela beberapa tanggapan dan pernyataan saya.  Tak beberapa lama, sebuah tulisan pendek pun terposting di akun twiternya. Selebihnya kami menikmati kopi dan kepulan asap rokok di mulut masing-masing. Suasana sore jelang senja di warung kopi yang terletak di bilangan jalan utama kota Kolaka itu, kian ramai saja. Di meja yang berjarak satu meter dari meja panjang yang kami gunakan, tampak dua anak muda yang bertarung di atas papan catur dan tiga orang menjadi penontonnya. Seperti itu peristiwa tadi sore yang sempat tulis disini.

Kini, sudah tiga batang rokok putih tergetak tak berdaya di asbak rokok dan saya sudah dua kali berpindah tempat duduk dan saat saya mengetik lanjutan paragraph tulisan ini, saya sudah melantai sendirian di ruang tamu. Aku sengaja memilih menghindari televise dan membiarkan smartphone yang kerap kali menggangu setiap kali aku bernafsu untuk menulis. Dan malam ini, saya harus memaksakan diri meski tersiksa rasanya menahan godaan untuk menyentuh smartphone dan masuk ke dunia maya bernama facebook dan twiter. Saya sadari kalau selama ini saya terjebak di dua tempat ini berjam-jam, bahkan sampai larut malam.

Aku sudah sampai disini, paragraph tulisanku mulai panjang melampaui satu halaman layar laptop dan kulihat jam dinding yang menempel sudah pukul 22.20 Wita.Batang leherku mulai gerah dan berkeringat tipis dan asap rokok putih tercium pekat di hidungku.Kali ini, saya bisa melewatinya. Sebenarnya tadi, saya ingin keluar rumah untuk satu urusan yang sejatinya tidak begitu penting dan nampaknya saya bisa menghalau niat itu dengan menulis ini. Dan malam ini, aku coba menikmati keterpaksaan yang mau tidak mau suka-tidak suka aku harus berusaha bertahan dari godaan untuk masuk di akun facebook yang terkoneksi dengan jutaan situs online dengan bermacam-macam sajian informasinya dan membuat saya terhempas tanpa daya meracuni pikiranku.Dampaknya adalah saya tidak lebih menjadi pengikut yang tidak punya identitas jelas dalam belantara pergaulan sosial secara global. Meskipun saya menyadari itu, bahwa kreativitas dan produktivitasku macet sejak aku begitu larut online di dunia maya hingga bertahun-tahun lamanya. Tak satupun tulisan yang jadi buku, yang ada hanya tulisan-tulisan pendek dan prematur. Seperti itu !

Tiba-tiba suara dari dalam kamar terdengar suara panggilan dan saya harus meninggalkan laptop ini, untuk menarik motorku yang masih terparkir di luar. Suara perempuan itu, membuyarkan konsentrasiku sesaat. Saya harus mengalah dan berhenti sampai disini saja, selain itu karena rokok putih sudah habis enam batang.Tak ada lagi yang bisa disulut meski tulisan ini masih harus berlanjut sambil lalu saya hentikan sejenak untuk pergi membeli sebungkus rokok putih lagi.

 

Watuliandu, 04/03/2016

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun