Persamaan Ruhut Sitompul dengan Boy Sadikin adalah sama-sama loyalis partainya masing-masing.
Ruhut sudah tidak diragukan kesetiaannya dengan partai Demokrat dan Ketua Umumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Di pelbagai acara, Ruhut kerap menyebutnya PD Â sebagai partai penyeimbang. Kalau sudah menyebut partai penyeimbang, disitulah Ruhut menunjukkan kebanggaan sebagai loyalitas demokrat. Namun cinta terhadap PD tidak berarti kehilangan ruh untuk tidak mengkritisi rekan-rekannya di PD. Ketika beberapa kader PD terlibat korupsi sekitar dua tahun yang lalu, Ruhut getol mengecam para kader PD di pelbagai forum diskusi. Sedikit pun Ruhut tak membela, menutup-nutupi kasus para kader Demokrat.
Ruhut merasa sikapnya tidak membuat Dewan Pembina PD, SBY marah. Dianggap Ruhut, SBY bangga dengan dirinya. Lebih jauh Ruhut menilai bahwa SBY adalah sosok pimpinan yang begitu dicintainya, selain Akbar Tanjung sewaktu dia di Golkar.
Kecintaan Ruhut kepada SBY memang sudah tidak diragukan lagi, bahkan mungkin melebihi kecintaan pada PD. Di salah satu acara talkshow di Metro TV, Ruhut begitu berani menyebutnya Anjingnya SBY. Tak akan ada yang berani, baik dari PD maupun dari partainya menyebut dirinya Anjing, sekedar ingin membuktikan kesetiaannya pada pimpinannya.
Tentang kesetiaannya kepada Ketum  PDIP, Megawati Soekarnoputri tak perlu dibantah. Dua kali jadi jurkam, dan keduanya berhasil. Sudah tentu memberi bukti kesetiaan pada Megawati. Hanya saja Boy tidak seperti Ruhut, terlalu pamer alias berlebihan menunjukan kecintaan pada pimpinannya, hingga kebablasan mengakui dirinya, maaf, jadi buldog tuannya.
Kini, keduanya menghadapi kesamaan yang lain. Dua-duanya sama menghadapi persoalan yang sama, sama-sama bermasalah dengan partainya masing-masing, karena keduanya adalah korban Ahok. Hanya saja perspektifnya saja yang berbeda. Kalau Ruhut sudah jauh-jauh hari membela Ahok. Pembelaan Ruhut membela Ahok awalnya tidak ada masalah. Persoalan mulai muncul ketika PD, tempat Ruhut bernaung, mengusung Agus Harimurty, yang tak lain adalah anak tuannnya Ruhut yang selama ini dibangga-banggakan. Tak mungkin Ruhut menelan air ludahnya sendiri yang sudah jatuh dilantai ibaratnya demikian. Pilihan terhadap Ahok adalah harga mati yang sudah tidak bisa ditawar lagi, sekalipun SBY memaksanya.Â
Buat Ruhut, persoalan Ahok bukanlah persoalan dilematis. Maunya Ruhut, PD tidak usah memaksanya harus mendukung Agus - Sylviana, karena kalau pun dipaksa pilihan Ruhut tidak berubah. Disisi lain Ruhut tak berharap harus keluar dari  PD. Artinya Ruhut lebih berharap dia dipecat daripada harus mengundurkan diri. Kalau mengundurkan diri, dianggapnya dia salah, sementara kalau dipecat artinya Ruhut lah yang benar. Kalau pun nantinya dipecat, Ruhut hanya berharap SBY yang memecatnya. Apa SBY berani memecat Ruhut? ditunggu keberaniannya?
Persoalan yang pelik menimpa juga Boy. Tapi tidak seperti Ruhut, ngemis-ngemis minta dipecat. Boy lebih gentle, mengundurkan diri, begitu PDIP mengusung Ahok. Awalnya Boy menyukai Ahok karena Jokowi, tetapi ketika Ahok menggantikan Jokowi. Boy sudah menunjukan tidak simpati. Boy menilai Ahok sangat kasar. Kalau saja kepada anggota DPRD bisa dimaklumi, tetapi kalau kepada masyarakat sungguh sulit bisa diterima oleh seorang Boy, yang sedari kecil lahir dan dibesarkan di Jakarta, hidup mengakar dalam lingkungan budaya Betawi.
Keputusan PDIP mengusung Ahok, sudah menutup pintu buat Boy harus bermesraan dengan PDIP. Jalan terbaiknya adalah mengundurkan diri dari PDIP, daripada harus menunggu dipecat seperti Ruhut. Dipecat justru akan lebih mempermalukan dirinya, sedangkan mengundurkan diri lebih menunjukan harkat dan martabat dirinya dari hama partai.Â
Jadi jelas dari beragam permasalahan yang menimpa keduannya, kita jadi lebih bisa menilai siapa yang looser atau pecundang antara Ruhut dan Boy?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H