“Aku menyesal telah membunuh perempuan dan anak-anak", Tapi, ya.. semua terjadi", Tak berapa lama, bapak tua itu menceritakan kembali. Saat dia dipenjara, dia ditempatkan dengan para pelaku kejahatan lainya, mulai dari pembunuh, pemerkosa dan para maling uang negara. Pada awalnya, dia seorang bapak yang baik dan selalu rajin memberi ceramah, sehingga para napi lain haru dan hormat padanya. Namun seketika itu berubah saat Istri tidak lagi menjenguknya kembali. Usut punya usut, Istrinya kabur mengikuti pria lainnya. Tentu saja dia marah dan kecewa. Kekecewaan itu ditumpahkan dengan tindakan yang tidak wajar. Dia menghunus belati yang terbuat dari sendok, ditancapkanlah belati itu kepada perut dua napi dan satu sipir. Karena sudah dianggap berbahaya, dia diisolasi di tempat sekarang ini, sambil menunggu kepastian hukuman mati.
Aku diam seribu bahasa mendengar dia bercerita panjang lebar. Jam sudah menunjukan jam 12 malam, sepertinya aku masih betah mendengar ceritanya.
“Para mayat, yang aku sebut tadi. Mereka adalah para korban kejahatan terorku, ditambah dengan 3 korban  lainnya yang aku bunuh", ujarnya sesekali dia mengelap keringat dinginnya.
Aku yang tadinya ingin sekali mendengar kelanjutannya, malah dibuat bingung oleh pernyataannya dia yang tertunda sebelumnnya. Aku tidak paham arah yang dibicarakannya. Tapi aku juga tak berani untuk bertanya lebih jauh lagi. Tugasku sebagai seorang wartawan hanya sekedar mencari informasi tentang fakta kejadiaan sebenarnya. Dan rasanya, sudah cukup bagiku informasi yang aku dapatkan. Namun demikian, sepertinya aku tak bisa saja meninggalkan dia secepat ini. Masih ada 4 jam lagi menikmati hidup.
"Jika aku mati nanti, semoga Tuhan mengabulkan permintaanku, mengijinkan aku menemui orang-orang yang menjadi korban-korbanku. Aku ingin sekali meminta maaf kepada mereka yang telah menjadi korban aku, mereka tidak salah. Mereka telah menjadi korban dari kebiadaban syetan yang menguasai tubuhku", ujarnya penuh haru. Kali ini air matanya keluar.
Aku berusaha bertahan tidak terbawa situasi dan kondisi tersebut. Tapi bagaimana pun, aku ini seorang perempuan dan seorang ibu. Aku juga tak tahan juga. Aku jadi teringat waktu aku masih kecil. Bapakku meninggal disiksa di penjara gara-garanya bapakku dituduh memasukan seorang teroris di rumahku. Bapakku memang salah, dia terlalu ramah menerima tamu siapa saja tanpa ada rasa curiga.
Selama beberapa menit, air mata kami saling berurai, kuraih tissue di tas kecilku. Kusibakan air mataku dan bapak tua itu. Air mata kami ini telah menguak kembali kenangan-kenangan perih masa lalu. Aku masih beruntung dari bapak tua itu. Aku masih diberikan kesempatan untuk mengisi kehidupan ini dan harapan-harapan yang masih panjang, sedangkan bapak itu, hanya berharap semoga kematiannya cepat dilaksanakan sebelum matahari  terbit pagi.
“Mbak, waktu sudah habis. Saatnya terdakwa menjalani eksekusi ",  Seorang sipir yang dari tadi berdiri di belakangku mengejutkan kesedihanku. Tak berapa lama, 5 sipir lainnya, membopong tubuh bapak tua yang sudah lemah dan hampir tak berdaya.
Tepat, sebelum jam 7 pagi. Bapak tua itu dieksekusi di belakang tanah penjara, dengan 3 kali letusan pistol tepat menghujam jantungnya. Aku Tak berani menyaksikan, Aku hanya berdoa semoga cita-cita bapak tua itu tercapai dapat menemui para korbannya. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H