SBY dipandang sumber kegagalan dimata Gede Pasek. Menurutnya, bahwa mempertahankan SBY sama dengan mengantarkan partai Demokrat ke jurang keterpurukan. Gede tak berharap, partai Demokrat senasib dengan Golkar yang diramal perolehan suaranya bakal anjlok.
Atas dasar itulah, Gede berani maju bersaing dengan SBY mencalonkan diri sebagai ketua umum partai Demokrat. Selain Gede, Marzuki Alie  berencana mencalonkan diri. Tidak seperti Gede yang lantang berani kritik SBY. Marzuki masih malu-malu mencalonkan diri. Ada rasa ewuh-pakewuh bila harus melawan SBY, lagipula dia pun merasa yakin bakal tidak menang. Kata urang Sunda mah, kumeok samemeh dipacok, atau arti dalam bahasa Indonesia kalah sebelum bertanding.
Tidak ada kamusnya dalam diri Gede, kalah sebelum bertanding. Bagi Gede menang untuk menjadi ketua umum partai bukan tujuan utama. Sudah berani mencalonkan diri menjadi ketua umum partai saja, sudah merupakan sebuah kemenangan.
Kemenangan yang dimaksud Gede berimplikasi pada sebuah makna kemenangan yang lain.
Pertama, berani bersaing dengan SBY merupakan kado terindah buat sahabatnya, Anas. Selama ini, Gede masih percaya bahwa sahabatnya telah dijadikan korban. Dan tentu tentang siapa yang mengorbankan, tentunya tuduhan mengarah ke SBY. Majunya dia sebagai ketua umum, seolah-olah perjuangan Anas belum habis. Melalui mata, telinga, dan hati pinjaman para loyalis, salah satunya Gede tetap konsisten melawan SBY.
Kedua, bersaing dengan SBY merupakan ejekan untuk loyalis SBY. Para loyalis SBY dipandang cemen oleh Gede, karena tidak berani keluar dari zona nyamannya SBY. Salah satu loyalis SBY yang dipandang paling cemen oleh Gede, yakni Ruhut Sitompul. Ruhutlah, loyalis SBY yang paling keras menentang pencalonannya. Tapi Gede tak patah arang oleh protes Ruhut. Justru dengan tetap keukeuh pencalonannya sengaja membuktikan bahwa loyalis hanya bisa hidup berpikir di ketiak SBY.
Ketiga, berani bersaing dengan SBY merupakan ejekan untuk SBY itu sendiri. SBY dipandang gagal, karena perolehan suara partai Demokrat yang menurun, kemudian, hal lainnya adalah tidak adanya regenerasi partai Demokrat, paska dipecatnya Anas. Partai Demokrat tak ubahnya partai keluarga. Hal itu terbukti ditetapkan sebagai ketum, sementara Ibas sebagai Sekjen.
Dari ketiga hal tersebut sudah cukup menjadi motif Gede mencalonkan diri. Meski pada akhirnya, secara aklamasi Gede diperkirakan kalah, tetapi setidaknya keberanian Gede melawan SBY sudah menjadi pelajaran berdemokrasi. Kader PDIP mesti belajar dari Gede. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H