Mohon tunggu...
Dean Ridone
Dean Ridone Mohon Tunggu... Administrasi - Saya Hanya orang Biasa

lesung pipit

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Degelan Politik Tingkat Tinggi Dari Jokowi

14 Januari 2015   17:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:09 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Photo : @rie fabian

Keberanian KPK menetapkan status hukum untuk Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka, dianggap sebuah langkah yang spektakuler terlepas dari berita pemberitaan tersebut membuat gaduh seantero negeri ini dan sudah cukup terhenyak sesak napas para pendukung Jokowi atau Jokowilovers. Keberanian KPK dapat dianggap spektakuler karena berani melawan napsu dan hasrat Jokowi, yang didukung Mega, JK, Surya Paloh, dan belakangan Jokowi mendapat sinyal dukungan penuh dari hampir anggota komisi 3 yang notabene dikuasai kubu KMP. Meski didukung oleh kolaborator dan para mafia pun, KPK tidak akan gimir. Siapa pun yang bersalah sikat habis, tanpa kecuali. Sudah lama kita merindukan nyali KPK untuk menunjukan keberanian melawan berandalan elit politik yang imun sentuhan hukum dan penegakan demokrasi.

Selama beberapa bulan ini, publik menunggu ada kejutan dari KPK terkait pencalonan BG, yang dimata dan telinga Publik bahwa Jokowi menunjukan keanehan kontroversi politik, antara keluguan dan tekanan menggelayuti keputusan Jokowi memilih calon tunggal kapolri BG. Jawaban publik dijawab oleh KPK. KPK turun gunung, kemudian tanpa menunggu lama dunia persilatan  politik digelar, KPK sebagai sutradara, sedangkan Jokowi sebagai penulis skenario beserta para pemainnya dari gabungan aktor bengis dan ada yang nakal yang ada di KMP-KIH. BG yang akan dijadikan peran utama oleh Jokowi dalam lakon Kapolri Mencari Arjuna, disetujui oleh KPK sebagai peran utama, akan tetapi dirubah skenario oleh KPK menjadi Arjuna Dijerat KPK. Perubahan cerita tersebut terjadi sebelum diadakan penggondogan peran utama layak atau tidak layak (Fit and Proper Test). BG tertunduk lesu dan tak bergairah lagi melayani pertanyaan wartawan setelah peran utama protogonis dirubah menjadi peran utama antagonis sebagai tersangka oleh KPK.

Ilustrasi/Net

Perwira tinggi yang konon dekat dengan ibu surinya Jokowi, mantan presiden Indonesia ke-5, puteri Bung Karno, semula yakin dan menjamin dirinya bakal lolos, terlebih lagi dapat angin segar dari seluruh anggota DPR komisi 3. Tapi bukan KPK kalau tidak cerdik menyutradai sebuah cerita. Apalagi cerita prilaku BG sudah dibuat berdasarkan track rekornya. Dalam track rekornya, KPK bekerja sama dengan PPATK sudah lama menyoroti perihal rekening gendut BG. Sekedar informasi melengkapi tulisan ini, disebutkan oleh Bambang Wijayanto, salah satu petinggi KPK, bahwa anaknya saja yang berusia 18 tahun memiliki rekening tak kurang dari 20 milyar. Dari sini saja KPK mudah sekali menjerat BG sebagai tersangka. Satu hal yang tak boleh dilupakan adalah keterangan dari Mantan Ketua PPATK, Yunus Husein dan Ketua KPK (aktif) menyatakan bahwa nama lulusan terbaik akpol 30-an tahun yang lalu ini sudah pernah mereka coret saat namanya muncul sebagai calon menteri Jokowi beberapa bulan lalu. Bahkan mantan ketua PPATK sudah menjelaskan status BG dicap merah dengan Jokowi dalam pertemuannya sebanyak 5 kali. Tapi rupanya Jokowi tidak mau mendengar PPATK dan KPK dan lebih peduli kehendak organsme politik ibu suri.

Kini bola panas ditangan penulis skenario, dan bila memaksakan diri Jokowi menyutradai BG sebagai calon tetap kapolri. Maka Jokowi akan dihadapkan pada tekanan publik. Komitmen Jokowi dalam pemerintahan yang bersih sesuai dengan janji kampanyenya, akan menjadi cerita bualan belaka.  Kita tunggu saja, sejauh mana komitmen Jokowi itu akan bertahan. Dengan adanya kasus BG, seharusnya  Jokowi berubah sikap, tidak melulu tergantung pada ibu suri, tetapi bekerja untuk rakyat.

i684.photobucket.com

Tentu publik masih ingat dengan slogan kata "Hebat" yang didengungkan oleh segenap pendukung Jokowi. Kata hebat mengandung sebuah kekuatan yang lebih bermakna, bukan sekedar ucapan di mulut saja, tetapi juga dalam bentuk pelaksanaan. Kata hebat pun tidak bisa berdiri sendiri bila ingin menunjukan kekuatan makna politik, akan tetapi harus disertai dengan kata "Jujur" dan "Bersih". Tiga kata itulah yang menjadi slogan KPK, salah satu katanya dipinjam oleh Jokowi pada saat kampanye, namun demikian semestinya Jokowi mau mencontoh keberhasilan KPK, setidaknya Jokowi mau mendengar nasihat politik KPK, bukan sebaliknya melawan KPK yang memang sudah terlanjur populer di era pemerintahan SBY.  Lewat kata pinjamannya, Jokowi  berhasil memenangi hati rakyat Indonesia yang menanti perubahan menuju Indonesia yang Hebat di 2014. Semula yang ingin dipinjam Jokowi bukan kata "hebatnya" tetapi "Samadnya". Akan tetapi karena tekanan politik dari ibu suri, akhirnya Jokowi lebih memilih taipan Bugis untuk jadi wakilnya.  Jokowi seolah memberi angin segar kepada Ketua KPK aktif untuk masuki istana. Jadi istilah (Hebat) dari gedungnya dipinjam, namun pemimpinnya batal dipinang. Sekarang KPK balik menghujamkan pedang keadilannya kepada kekuatan politik yang meminjam kata Hebat” tersebut. (Rmol, Seperti Melihat Degelan, 14/1/2015)

Kata Hebat dipakai pemerintahan Jokowi dipraktekan dalam bentuk yang lain, yakni soal pilihan arah ekonomi.  Apa tidak hebat sekali, di  masa pemerintahan Jokowi subsidi untuk premium, BBM, dihapuskan sepenuhnya. dibalik pada keputusan kehebatan dihapuskan subsidi BBM, mengandung kehebatan lainnya yakni keberhasilan para penganut neoliberal yang membisiki Jokowi untuk melanggar konstitusi (Pasal 33 UUD 1945). Lewat pembisik penganut neo liberal ini menjadikan rakyat pintar berpikir melangkah seribu kali ke depannya berpikir ulang memilih calon pemimpinnya yang baik dan benar, tidak terfokus pada penampilan yang dapat mengelabui, orang yang perawakan dan penampilannya terlihat berasal dari kalangan rakyat kecil, tentunya belum tentu berpihak kepada rakyat kecil itu sendiri.

Kehebatan lainnya di  masa Jokowi lah rakyat dipaksa mensubsidi korupsi dan rente elit pejabatnya. Tengok saja para mafia migas makin lengket dengan pemerintah, padahal pada janji kampanye lalu, Jokowi akan memberangus mafia migas. Tidak cukup mafia migas saja, mafia lain ikut menikmatinya memanfaatkan kepolosan Jokowi yang gampanya dikadali. Hebat, memang hebat, para mafia ini -yang juga jaringan pengusaha kelas kakap- bahkan sudah masuk ke parlemen dan pemerintahan, menyuarakan sayap kanan pemikiran. (Rmol, Seperti Melihat Degelan, 14/1/2015)

Kata hebat pada arah ekonomi sudah terbukti menemui keberhasilan, karena sudah menjadi sebuah degelan ekonomi. uniknya degelan ekonomi yang diperankan oleh Jokowi dan para penganut ekonomi neo-liberal ditonton oleh publik dengan penuh luka perih menghujam sembilu. Bagaimana tidak perih, publik masih ingin bulan madu dengan eforia kemenangan Jokowi, tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan yang lain, ketika BBM dinaikan, lalu 2 bulan kemudian diturunkan, setelah itu Jokowi mencabut subsisdi mulai dari premium, listrik, dan pupuk. Kedepannya rakyat akan dipaksa untuk menyaksikan degelan ekonomi lainnya, karena rakyat dihadapkan pada harga barang-barang yang tidak stabil karena Jokowi sudah berjanji harga dasar BBM diserahkan pada pasar.

Berbeda dengan degelan ekonomi yang secara langsung dirasakan oleh rakyat, Degelan politik yang terkait penunjukan BG justru sebaliknya jadi bahan tertawaan semua orang. Bagaimana tidak bisa tertawa, BG yang jelas-jelas distabilo merah, malah mau diloloskan jadi kapolri. Jokowi tampak ingin menunjukan kekuatan, akan tetapi kekuatan yang tidak pada tempatnya. malah yang ada jadi bahan olokan. Celakanya prilaku Jokowi yang salah malah didukung oleh Jokowilovers. Sebelas duabelas, bukan mencairkan suasana, malah sebaliknya makin memperkeruh suasana dengan cerita-cerita drama yang urakan ditulis para Jokowilover di kompasiana ini  tentang proses tersangka BG.

Kejadian kemarin boleh dikatakan cerita degelan politik tingkat tinggi dari Jokowi, karena Jokowi dan para pendukungnya memainkan peran utama. Sama-sama berharap ingin menjadi peran protogonis, tetapi kenyataan yang terjadi keduanya malah berebut berperan menjadi peran antagonis, karena yang satu menunjukan kepolosan, dan yang lainnya mendukung kepolosan dibalut cerita-cerita konyol. Sampai kapan Jokowi memainkan drama degelan politik tingkat tinggi lainnya. Kita serahkan pada Jokowi itu sendiri, maunya apa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun