Sumber Photo : Kreativi.com
Konflik Polri (terkait BG) dengan KPK berujung dramatis. Pada tatanan hukum melalui prapradilan, BG telah mempecudangi wibawa KPK. Hakim telah memutus bahwa penetapan BG tidak memiliki dasar yang jelas. Keberhasilan BG memenangkan kasusnya berefek buruk pada KPK ke depannya. Ke depannya, cara-cara yang dilakukan oleh BG akan diikuti para koruptor untuk memberi ruang somasi kepada KPK terkait penetapan status tersangkanya. Itu baru dari segi tatanan hukum. Belum lagi dari tatanan sosial dan politik. Sudah pasti KPK akan berkubang di ranahnya sendiri alias babak belur, karena tidak memiliki kekuatan. Apalagi KPK dipilih oleh DPR dan mendapat persetujuan dari presiden, maka yang terjadi KPK akan tumpul jika harus berhadapan dengan kepentingan politik, baik DPR maupun Presiden.
Presiden Jokowi acap kali membuat pernyataan bahwa Polri dan KPK perlu diselamatkan. Kemudian yang menarik dari pernyataan beliau adalah hendaknya jangan melakukan kriminalisasi. Pernyataan beliau bermakna ganda, yakni baik KPK maupun Polri tidak boleh dikriminalisasi? Belakangan ucapan Jokowi terungkap bahwa KPK lebih dominan dikriminalisasi oleh pihak polri, dan tentu partainya Jokowi, PDIP lewat rangkaian fitnah yang menggebu-gebu ditujukan pada pimpinan KPK. Abraham Samad yang paling banyak kena getahnya, sementara BW adalah tumbalnya sebagai aksi balas dendam dari penetapan tersangka BG (polri).
Kita harus memandang persoalan ini dengan jernih. Dalam kaca mata berbangsa dan bernegara, baik KPK dan Polri harus diselamatkan. Tetapi kaitan dengan korupsi, tentu KPK harus diselamatkan. Dari prestasi dan keberhasilan pemberantasan Korupsi. KPK lebih unggul dibanding dengan polri dan kejaksaan selama ini. Terkait dengan status BG. Tentu KPK punya data akurat dan alasan yang kuat kenapa seorang BG bisa ditetapkan sebagai tersangka. BG yang sudah tersingkir dalam penjaringan menteri yang melibatkan KPK. Kok, oleh Jokowi bisa-bisanya diloloskan jadi Cakapolri.
Pematiknya apinya jelas ada di Jokowi, bukan Mega atau Surya Paloh. Jokowi jelas yang menyulut persoalan ini jadi besar. Gagalnya Komjen Pol Budi Gunawan yang dia ajukan ke DPR untuk uji kelayakan karena ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, akan menjadi pemicu konflik politik, hukum, dan bahkan masalah keamanan paska keberhasilan BG memperadilkan KPK.
Dari kaca mata orang awam, kasus tersebut telah merusak tatanan kehidupan bernegara. Titik temu yang akan menjadi titik rawan adalah kewibawaan Jokowi sebagai presiden atau sebagai simbol Negara. Inti yang menjadi turunnya kewibawaan presiden, bukan pada keputusannya untuk menahan dilantik-tidaknya BG sebagai kapolri. Akan tetapi, keputusan yang ceroboh memilih BG sebagai calon tunggal kapolri. Semestinya Jokowi perlu meminta masukan dari KPK, kalau memang berharap pemerintahnya yang bersih, bukan hanya percaya pada rekomendasi kompolnas saja.
Pandangan orang awam tak perlu mengamati permasalahan ini dari sudut komponen sejarah, demografi, sosbud, politik, keamanan. Yang dibutuhkan dari orang-orang awam seperti umumnya adalah menemukan sosok presiden yang tegas dan berwibawa. Perkara presiden tampang bloon, buat orang awam tidak terlalu dipermasalahkan. Maka Jokowi diharapkan sebagai presiden yang kuat dimata rakyat, bukan kuat dimata partai dan teman-teman politiknya. Kuat dimata rakyat akan menjadi modal untuk Jokowi untuk menancapkan kuku di atas karakter, sifat, budaya yang berbeda-beda pada bangsa ini.
Presiden Jokowi jangan hanya dipandang sebagai milik suku Jawa, tetapi harus ditempatkan pada segala suku di Indonesia. Kalau hanya dipandang dari suku Jawa, walaupun kenyataannya berasal dari suku Jawa. Maka yang ada, akan timbul pemikiran yang miring dari pihak suku lain. Mereka menilai ketidaktegasan dan kebimbangan dari Jokowi sebagai prilaku dari budaya Jawa dimana dalam memutuskan suatu perkara harus menerapkan sikap “tepo seliro”, yaitu menenggang perasaan orang lain. Padahal kenyataannya, tidak selalu dalam memutuskan perkara harus tepo seliro.
Kesalahan Jokowi dalam konflik Polri-KPK adalah Jokowi tidak menerima masukan dari KPK. Memang tidak ada keharusan dari Presiden untuk menerima masukan dari KPK. Akan tetapi Jokowi melibatkan masukan dari internal sendiri dari usulan Kompolnas yang diketuai oleh Menko Polhukam tentang usulan calon kapolri. Akibatnya timbul bias persoalan ketika kenyataannya KPK menetapkan BG sebagai tersangka.
Persoalan tidak akan berlanjut jika Jokowi mengambil dua pilihan. Pertama, Jokowi segera membatalkan usulan BG sebagai tersangka dengan resiko Jokowi dijauhi partai-partai pengusungnya. Atau Jokowi tetap melantik BG dengan resiko Jokowi akan banyak dimusuhi para Jokowilovers yang berharap banget ada sinergi pemerintahan antara Jokowi dengan KPK. Akan tetapi, pilihan kedua akan lebih baik. Jokowi dapat memberi alasan bahwa pemilihan dan pelantikan BG adalah hak preogatifnya, tidak ada urusan dengan pihak lain, termasuk KPK.
Tetapi permasalahan BG telah dijadikan umpan oleh Jokowi untuk menggantung persoalan. Bukan sekedar menggantung persoalan, tetapi bersafari cari muka dan pencitaraan ke sejumlah tokoh, diantaranya; Jokowi mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh partai koalisi KIH, tokoh-tokoh pendukungnya saat pilpres, KPK, pendukung antikorupsi, KMP, Prabowo, Tim Sembilan, Penasihat Presiden, dan banyak lagi yang dipikirkannya.
Sikap Jokowi yang senang menggantung persoalan telah menimbulkan persoalan politik makin keras dan tak menentu. Maksud Jokowi, tidak mau terburu-buru dalam memutuskan perkara adalah tindakan yang tak bisa diterima, apalagi seorang pemimpin nasional harus tegas dalam memutuskan suatu perkara.
Memang dalam persoalan yang lain yang terkait dengan ancaman terhadap bangsanya dia sangat tegas. Diantaranya, langkah yang dia lakukan adalah keberanian memerintahkan menenggelamkan kapal-kapal asing pencuri ikan (ilegal), dia juga menolak pemberian grasi atas hukuman mati terpidana narkoba. Akan tetapi sikap keras dan tegas juga harus diterapkan pada persoalan-persoalan dalam negeri, seperti halnya pada kasus BG. Harusnya Jokowi memutus mana yang menjadi pilihan terbaiknya dilantik atau dibatalkan. Tidak dengan kejadian yang sekarang, menggantung sehingga merembet pada persoalan-persoalan lain di luar konflik BG vs KPK.
Atas pelbagai persoalan tersebut setidaknya telah memberi pengaruh pada legalitas Jokowi sebagai Presiden. Jokowi akan selalu dianggap sumber permasalahan yang ada, bukan sebagai otoritas yang akan menjamin penyelesaian suatu perkara. Dalam hal ini, penulis tidak setuju dengan pendapat intelijen, Jokowi harus diselamatkan. Tetapi yang ada, Jokowi tak perlu diselamatkan, karena toh akar masalahnya ada di Jokowi sendiri. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H