Mohon tunggu...
Ridhwan EY Kulainiy
Ridhwan EY Kulainiy Mohon Tunggu... Human Resources - Hidup untuk berpengetahuan, bukan berdiam diri dalam ketidaktahuan oranglain

Hidup untuk menjadi berpengetahuan, bukan untuk berdiam diri dalam ketidak tahuan oranglain. wordpress : https://www.kulaniy.wordpress.com facebook : @ridwan.komando21 Fanspage : @kulaniy.komando twitter : @kulaniy1708 Instagram : @ridhwans_journal Whatsapp dan Gopay : 082113839443

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Koffie Drinken 10: Perjalanan ke Rotterdam

21 Juli 2020   18:31 Diperbarui: 21 Juli 2020   18:28 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kapal Tambora milik Rotterdamse di Teluk Biscaye. Sumber : asliindonesia.com

Pada permulaan Juni 1921, Hatta berangkat dengan sebuah kapal Rotterdamse Lloyd ke Sumatera Barat. Ia akan berkeliling untuk berpamitan kepada seluruh sanak saudara dan kerabatnya. 

Meski nampak kekecewaan di wajah Kakek Hatta, namun ia memasrahkan semuanya sebagai Takdir Allah SWT dan menerima keputusan Hatta untuk melanjutkan pendidikannya ke Rotterdam. 

Selama di Sumatera Barat Hatta sering ditemani oleh Zainuddin anak dari H. Rasjid, yang saat itu tengah duduk di bangku kelas III MULO. H. Rasjid merupakan seorang saudagar besar di Pasar Gedang. Zainuddin adalah seorang anak muda yang memiliki banyak cita-cita, banyak condong kepada pendirian Hatta di dalam JSB. Hatta menyarankan pemuda itu agar setamat di MULO hendaklah ia melanjutkan pelajarannya ke Nederlands Handels Hogeschool di Rotterdam.

Hampir sebulan lamanya Hatta berkeliling, dua hari sebelum keberangkatannya ia berada di Padang. Dua atau Tiga kali diadakan peretemuan dan diskusi bersama Engku Taher Marah Sutan. Bercakap-cakap dan bertukar pikiran mengenai hal yang dianggap penting.

Pada tanggal 3 Agustus 1921, Hatta berangkat dari Teluk Bayur dengan kapal Tambora kepunyaan Rotterdamse Lloyd menuju Rotterdam. Waktu ia pamitan dengan Engku Taher Marah Sutan, ia menerima sebuah amplop. Isinya ialau uang sebanyak f 500 sebagai sumbangan beberapa orang saudagar di Pasar Gedang. 

Di antara penumpang yang sama-sama tinggal di kelas2, kebanyakan orang Indo yang pergi verlof ke Nederland. Ada tiga orang mahasiswa dari HBS Surabaya yang akan meneruskan pelajaran mereka di Fakultas Kedokteran Universitas Leiden. Ada seorang sersan-mayor yang kebetulan sekamar dengan Hatta, seorang Belanda tulen. Perjalanan itu kira-kira akan memakan waktu sebulan lamanya.

Baru sesudah berlayar selama 10 hari kira-kira, kapal singgah di Pelabuhan Perim untuk mengambil batu bara. Itu merupakan sebuah Pulau kecil yang tandus, merupakan Pulau jajahan Inggris dan dipakainya semata-mata utuk meladeni kapal-kapal yang singgah dengan bahan bakar. 

Di belakang pulau itu di Semenanjung Arab terletak di Hadramaut, kota tumpah darah orang-orang Arab yang banyak datang ke Indonesia. Hatta melihat gelagat perdagangan yang aneh dari orang-orang Arab, sehingga timbul pertanyaan di benak Hatta. Apakah mungkin orang-orang semacam itu turunan Nabi Muhammad SAW, seperti yang dibeberkan di Hindia Belanda?

Sehari kemudian kapal kembali berlabuh di Perim. Pukul 17.00 senja ia berangkat menuju Laut Merah, menuju Port Said. Lamanya berlayar kira-kira empat hari empat malam. Sebagian besar penumpang kelas tiga turun ke darat. 

Di antara mereka ada yang pergi melihat piramida, di bawah pimpinan beberapa orang penunjuk jalan. Beberapa mengunjungi cafe dan terutama membeli rokok Clysma yang tersohor di waktu itu. Beberapa orang naik ke kapal untuk mencari uang lewat jasa meramalkan kehidupan pribadi seseorang, semacam dukun dan cenayang.

Ilustrasi Pelabuhan Marseille. Sumber : pasiionprovence.org
Ilustrasi Pelabuhan Marseille. Sumber : pasiionprovence.org

Kira-kira seminggu sesudah itu, kapal Tambora kembali berlabuh di Marseille. Di situ penumpang terpisah menjadi dua. Ada yang akan berangkat melalui jalur darat dengan kereta api ke Nederland, ada yang akan terus berlayar menggunakan kapal. 

Orang yang takut melihat Teluk Biscaye dengan ombaknya yang hebat memilih menggunakan jalur darat, dan orang-orang yang tak memiliki Visa Perancis terpaksa harus menggunakan jalur laut. Hatta tidak memiliki visa Perancis, namun karena kapal berlabuh selama hampir 10 jam maka Hatta menyempatkan diri untuk turun dan melihat-lihat sekitar Pelabuhan di Marseille.

Saat Hatta hendak turun dari kapal, ia didekati oleh keluarga Portier. Tuan Portier mengusulkan supaya Hatta bersama-sama saja turun ke darat dengan mereka untuk berjalan-jalan. 

Mereka tidak saja tidak kenal jalan, tetapi juga tidak mengerti bahasa Perancis. Hatta pandai berbahasa Perancis, karena itu ia bisa berguna sebagai seorang pemandu penunjuk jalan. Segala ongkos, biaya kendaraan, makan dan segalanya menjadi tanggungan Tuan Portier, dan Hatta menyetujui hal itu.

Demikian kira-kira selama enam jam mereka berkeliling di Marseille, mereka makan bersama-sama di sebuah restoran. Melihat kebiasaan orang Eropa yang cukup aneh, kebanyakan orang Perancis membaca sambil berjalan, atau duduk di trem sambil membaca koran. 

Selalu memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang menurut mereka penting. Sorenya, kapal Tambora meninggalkan Marseille menuju Selat Gibraltar, kemudia membelok ke utara. 

Waktu memasuki Teluk Biscaye penumpang mulai gelisah. Ada yang tetap tinggal di dalam dek. Tapi beruntunglah selama melalui Teluk Biscaye, laut bergerak dengan tenang. Beberapa hari sesudah itu sampailah kapal Tambora di mulut Sungai Maas dan menuju ke timut, ke Rotterdam. Waktu hampir sampai Rotterdam, banyak penumpang yang bingung dan nampak gugup. Mungkin dikarenakan akan menghadapi suasana baru di tempat yang baru didatangi.

Pada tanggal 5 September 1921 kapal Tambora berlabuh di Pelabuhan Rotterdam di waktu siang. Hatta dijemput oleh Ir. Kramer, seorang kenalan Ir. Van Leeuwen di Betawi. Malam itu Hatta akan menginap di rumahnya. Baru keesokan harinya Hatta akan berangkat ke Den Haag. 

Di Den Haag, Hatta menginap selama 10 hari di Tehuis voor Indische Stundeten yang terletak di St. Mauritsplein. Pada waktu itu rumah penginapan itu dipimpin oleh Ny. Van Overeem, janda dari seorang bekas guru kepala yang pernah menjabat di Hindia Belanda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun