Mohon tunggu...
Ridhwan EY Kulainiy
Ridhwan EY Kulainiy Mohon Tunggu... Human Resources - Hidup untuk berpengetahuan, bukan berdiam diri dalam ketidaktahuan oranglain

Hidup untuk menjadi berpengetahuan, bukan untuk berdiam diri dalam ketidak tahuan oranglain. wordpress : https://www.kulaniy.wordpress.com facebook : @ridwan.komando21 Fanspage : @kulaniy.komando twitter : @kulaniy1708 Instagram : @ridhwans_journal Whatsapp dan Gopay : 082113839443

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Demokrasi vs Aristokrasi

6 Maret 2020   01:29 Diperbarui: 6 Maret 2020   01:43 867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Demokrasi, menurut buku yang sejauh ini saya baca lahir di Yunani dan mulai berkembang pasca perang dunia pertama di Eropa. Soalnya di buku "Bukit Tinggi-Rotterdam Lewat Betawi" karya Bung Hatta, partai Sosialis dan Demokrat baru lahir di Eropa menjelang tahun 1920an. Saya sudah terbaca seperti anak sejarah ya, rajin banget hapalin tahunnya.

Demokrat atau Demokrasi sistem pemilihannya sebenarnya hampir sama seperti musyawarah RT atau RW hingga Kelurahan. Tapi pada dasarnya warga tidak memilih calon yang sudah ada, melainkan diawali dengan calon yang dipilih dan diajukan oleh para warga itu sendiri. Setelahnya barulah diadakan pemilihan suara seperti yang kita pakai di Indonesia saat ini (Pemilu, PilKaDa, PiLeg, PilPres, dst)

Ada satu jargon yang sering disebut-sebut oleh orang-orang yang mengkampanyekan Demokrasi, yaitu "Suara Rakyat Suara Tuhan". Atau dalam bahasa kerennya disebut dengan istilah Vox Populi Vox Dei. Dengan pernyataan ini, seolah Tuhan dipolitisasi oleh rakyat. 

Rakyat bersama-sama dan berbondong-bondong memaksa Tuhan untuk menyetujui apa atau siapa yang dipilih oleh rakyat untuk menjadi pemimpin. Disini rakyat bebas untuk menyuarakan atau mengajukan calonnya, tak peduli pendidikan, moral, etika, pengalaman, serta kejujurannya dalam bertanggung jawab sebagai seorang pemimpin. Intinya kalo rakyat suka, rakyat senang, maka sah-sah saja.

Hal ini berbahaya jika rakyat yang "bebas" ini dalam mengajukan calon tidak memiliki pengetahuan dan jaminan mengenai pemimpin yang dia ajukan. Namun akan menjadi sangat briliant jika rakyatnya berpengetahuan, penuh kebijaksanaan dan cerdas dalam memilih pemimpin. 

Di seberang paham Demokrasi, ada kubu Aristokrasi. Yaitu sistem politik yang dalam memilih pemimpin, elemen masyarakat di wakili oleh seorang tetua atau seorang yang memiliki pengaruh, bangsawan, darah biru, preman, ulama, kyai, ustadz atau seorang hartawan di suatu wilayah untuk menyerahkan suaranya dalam pemilihan pemimpin. Sistem ini memiliki jargon, Vox Dei Vox Populi atau Suara Tuhan Suara Rakyat.

Disini tokoh tetua pun kebanyakan dipandang sebagai seorang cendikiawan, atau seorang pemuka agama yang disinyalir memiliki kedekatan dengan Tuhan. Sehingga menjadi layak dijadikan representasi kehendak Tuhan dalam memilih pemimpin. 

Sah-sah saja sebenarnya. Hanya saja, kebanyakan yang terjadi adalah tokoh-tokoh ini pun mudah dibeli dengan 3 hal, harta-tahta-wanita. Yang pada akhirnya suara Tuhan kembali terpolitisasi oleh kalangan "Elite" yang memiliki modal besar untuk membeli tokoh-tokoh itu.

Asik ya pembahasan saya, kaya yang ngerti aja. Wkwkwk...

Satu hal pemicu yang memungkinkan terjadinya kecelakaan tersebut pada kubu aristokrasi adalah ketika para tokoh mulai membodohi rakyat yang menokohkannya. Dan rakyat terlanjur "taqlid buta" terhadap tokoh tersebut sehingga dengan mudah bisa dibodohi oleh para tokoh.

Sebenarnya dua sistem ini bergulir secara bergantian di pemerintahan Yunani. Juga di beberapa negara serta kerajaan lainnya yang pernah ada di dunia. Di Indonesia juga seperti itu, dari masa Aristokrasi (Orde Baru), lalu berganti ke Demokrasi (Orde Lama) dan di periode belakangan ini (Reformasi) arahnya mulai kembali berlaku sistem Aristokrasi. Walaupun tidak secara langsung disebut demikian, dan secara tidak sadar kita telah menjalaninya.

Penuh dengan hiruk-pikuk, huru-hara dan belakangan agak sedikit ricuh. Antara bani Kampret dan bani cebong yang berkepanjangan.

Gaya saya udah kaya pengamat kelas kakap ya?? Wkwkwk..

Ini merupakan pandangan klasik pra perang dunia pertama, pandangan Modernnya sering disebut dengan Republik yang condong ke gaya demokrasi dan Monarki yang condong ke gaya aristokrasi.

Masalahnya sebenarnya bukan pada sistem-sistem itu sih. Masalahnya ada pada individunya, ada pada kita sebagai pelaku dari aktivitas itu semua. Sudah menjadi tabiat dari akal manusia untuk mengkategorisasi hal-hal yang berbeda dalam kehidupan dan menamainya dengan nama yang berbeda sehingga nampak berseberangan dan saling berlawanan. 

Padahal jika dilihat dari tujuan awal dari keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu mengatur (mengorganisir) kehidupan masyarakat di suatu daerah untuk mencapai cita-cita bersama. 

Atau dalam bahasa yang lebih padat bisa dikatakan sebagai aktivitas manusia mengelola manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia. Juga biasa disebut sebagai Politik.

Kembali ke obrolan. Bahwasanya seperti itulah tabiat akal manusia (mengkategorisasi). Yang mendorong manusia memandang kedua kategori ini menjadi dua kubu yang berseberangan dan berlawanan adalah sisi kejiwaan atau sisi emosional dalam diri manusia.

Menariknya, kita punya Ideologi yang sangat excellent. Dan para pendiri bangsa ini lagi-lagi sangat teliti dan tepat menggunakan istilah dalam menyebut hal-hal yang berkaitan dengan urusan kepemimpinan dan pemerintahan. Pada sila ke-4, disebutkan "Kerakyatan yang di pimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan, dalam permusyawaratan/perwakilan."

Asas ini mengandung dua sisi, satu sisi mendorong masyarakat untuk menjadi bangsa yang mencapai Hikmat Kebijaksanaan. Yaitu bangsa yang berpengetahuan, cerdas dan bijaksana. Juga mengacu kepada permusyawaratan yang diwakilkan oleh seorang dari masyarakat yang paling atau diketahui serta dikenal sebagai seorang yang mencapai Hikmat Kebijaksanaan tertinggi di antara masyarakat. 

Sila ke-4 dalam Pancasila disusun berdasarkan pelajaran yang mendalam mengenai kelebihan serta kekurangan yang ada di dalam dua sistem pemerintahan yang ada. Dikombinasikan dengan sangat cermat dan ketat, sehingga melahirkan suatu peradaban besar, suatu Bangsa yang hidup dalam Hikmat Kebijaksanaan tertinggi umat manusia.

Secara simple bisa dikatakan bahwa gerakan Pancasila atau sistem Pancasila adalah sinergi suara antara suara rakyat yang berpengetahuan, cerdas dan bijaksana (sehingga tidak mudah dibodohi) dengan suara para tokoh yang merupakan wakil dari rakyat tadi dan merupakan tokoh yang juga dikenal sebagai tokoh yang berpengetahuan, cerdas dan bijaksana (sehingga tidak mudah di beli oleh "elite" dan tetap mengedepankan kemaslahatan bersama/tidak egois).

Panjang Umur Pengetahuan...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun