Mohon tunggu...
Ridhwan EY Kulainiy
Ridhwan EY Kulainiy Mohon Tunggu... Human Resources - Hidup untuk berpengetahuan, bukan berdiam diri dalam ketidaktahuan oranglain

Hidup untuk menjadi berpengetahuan, bukan untuk berdiam diri dalam ketidak tahuan oranglain. wordpress : https://www.kulaniy.wordpress.com facebook : @ridwan.komando21 Fanspage : @kulaniy.komando twitter : @kulaniy1708 Instagram : @ridhwans_journal Whatsapp dan Gopay : 082113839443

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mengenal Fallacy (Kesesatan Berpikir)

24 Februari 2020   01:38 Diperbarui: 24 Februari 2020   01:38 1446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Lama tak menghentak tuts-tuts elektrika, sungguh rindu untuk menyapa para pembaca yang dahaga. Akhirnya saya log-in ke akun kompasiana saya yang baru saja di validasi dan memiliki centang hijau, hehehe... (sok keren ya saya ini...?)

Berawal dari obrolan siang tadi di depan kampus dengan seorang junior, saya jadi hendak menulis beberapa artikel yang saling berhubungan. Dimulai dengan pembahasan mengenai Fallacy atau Kesesatan Berpikir. 

BAB Fallacy adalah salah satu pembahasan yang ada dalam Ilmu FIlsafat, dimana para Filosof menyusunnya dengan sedemikian rupa memetakan kekeliruan-kekeliruan dalam pemikiran, pengambilan keputusan, sikap dan tanggapan manusia terhadaop sesuatu yang ada dalam kehidupannya. 

Fallacy ini menjadi kunci bagi para pembelajar Filsafat untuk memahami cara berpikir manusia dan mendorongnya untuk menjadi generasi yang lebih baik, objektif dan tentunya berani untuk berbicara benar.

Tindakan seseorang diawali dengan bagaimana seseorang mengelola diri dan mengolah informasi yang didapatkannya dalam kehidupan. Sesuatu yang dikelola dan diolah dengan benar tentu akan menghasilkan (output) sikap, tindakan dan hasil yang benar pula.

Sebaliknya, ketika sesuatu itu dikelola dengan cara yang keliru, sembarangan dan cenderung arogan, maka apa yang dihasilkan adalah sebuah jalan kehancuran dan kebinasaan.

Hal inilah yang dimaksud oleh para Filsuf sebagai kesesatan berpikir yang menyebabkan orang-orang keliru dalam memahami dan menyikapi sesuatu. 

Mungkin di berbagai media lain Fallacy sudah diterangkan dengan berbagai pandangan dan gaya, disini saya hendak menuliskannya dengan pemahaman dan pengalaman yang lebih mendasar agar dapat dipahami dengan mudah oleh semua kalangan manusia. (yang tidak paham juga berarti bukan manusia, hehehehe...)

1. Hawa Nafsu

Yang pertama adalah hawa nafsu. Menurut saya Hawa Nafsu berada diurutan paling pertama, karena manusia sebagai hewan berakal yang memiliki akal dimana salah satu bagian otaknya dikenal sebagai otak mamalia.

Otak mamalia ini menjadikan manusia sebuah makhluk yang sangat perasa dan mengedepankan emosional dari segala sesuatu. Tidak semua yang disebut emosional adalah Hawa Nafsu, namun sebagian besar emosional manusia akan mendorong manusia kepada hawa nafsu.

Dalam menyikapi suatu hal atau peristiwa tentu akan menjadi berbahaya ketika kita menyikapinya dengan hawa nafsu. Sudah berapa banyak nyawa atau kehidupan yang melayang sia-sia hanya lantaran seseorang tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya...?

Hawa nafsu manusia adalah sesuatu yang nampaknya mustahil untuk dihilangkan, hanya saja manusia memiliki kemampuan untuk mengendalikannya.

Sehingga tidak dapat menjadi alasan bagi seseorang ketika merespon suatu hal atau kejadian dengan hawa nafsu, lantas ia dibebaskan dari hukum etika dengan alasan ketidak-mampuannya dalam mengendalikan hawa nafsu. Hawa nafsu akan sangat mudah tergugah dan membara ketika seseorang mendapatkan sebuah informasi yang bersifat sensitif dengan kehidupannya, semisal hal-hal yang kontradiksi dengan keyakinan (agama) dan pandangan hidupnya.

Karena informasi tersebut dirasa dapat melemahkan pandangan dan keyakinannya atau mengganggu kenyamanan serta kepentingannya, maka informasi tersebut akan dengan cepat ditanggapi dengan emosi (hawa nafsu). 

Contoh:

Ketika seseorang dihina dan dicaci karena kemiskinannya. Orang pada umumnya akan merasa emosi (marah), selanjutnya amarah ini akan mendorong dirinya untuk merespon perlakuan tersebut dengan meluapkan hawa nafsunya. Hal ini terjadi ketika seseorang tidak mampu mengendalikan amarahnya.

2. Prasangka

Menganalisa sesuatu dengan argumen, dasar dan bukti yang jelas, tentu dibenarkan dalam kehidupan ini. Hanya saja ketika kita mengeluarkan sebuah pendapat tanpa sebuah dasar atau bukti yang jelas, maka hal itu dapat dikategorikan sebagai sebuah prasangka. Prasangka juga dapat berbentuk sebuah sikap gambling atau menerka-nerka tanpa kemungkinan atau informasi yang jelas.

Hal ini akan menghantarkan manusia kepada ketidak-pastian yang sangat gelap, karena tidak adanya perhitungan yang gamblang dan dapat ditelusuri keabsahannya. Hal ini tentu lebih mudah dipahami, karena berbicara mengenai bukti dan data. 

Contoh:

Datang seseorang (sebut saja si C) kepadamu dan mengatakan: "Aku melihat dan mendengar si A dan B sedang berbincang lalu menyebut-nyebut namamu, nampaknya mereka sedang membicarakan keburukanmu...".

Lalu prasangka dari si C itu mempengaruhimu dan membenarkan prasangkanya, spontan kamu mengira-ngira keburukanmu yang manakah yang sedang dibicarakan si A dan B. Padahal kamu dan si C sendiri tidak mengetahui pasti apa yang dibicarakan A dan B tentangmu. Dimana si C tidak memiliki bukti yang cukup atau sebuah rekaman suara yang bisa didengarkan dengan jelas mengenai apa yang dibicarakan si A dan B.

3. Tergesa-gesa

Tergesa-gesa biasanya terjadi dalam kondisi tekanan yang lebih besar, semisal euforia. Hal ini juga biasanya dipengaruhi oleh hawa nafsu, sehingga kamu menilai segala sesuatu secara spontan tanpa menimbang atau mencari tahu mengenai sesuatu tersebut. Kadang kita memutuskan hanya lantaran memihak kepada pihak yang terdiri dari orang yang lebih banyak dari orang yang lebih sedikit, atau pada sesuatu yang lebih besar daripada terhadap sesuatu yang lebih kecil tanpa mengetahui seluk beluk kejadiannya. 

Contoh:

Ketika kamu berada di sebuah persimpangan dengan kendaraan bermotor, dimana arahmu sedang mendapat giliran lampu merah. Lalu sebagian besar kendaraan berusaha untuk menerobos lampu lalu lintas. Euforia itu akan mendorongmu untuk melakukan hal yang sama dengan orang kebanyakan lakukan, meskipun kadang atau bahkan seringkali kamu menyadari bahwa apa yang kamu lakukan itu sebenarnya merupakan sebuah kesalahan. Namun karena pelanggar lalin tadi dalam posisi mayoritas, maka kamu membenarkan tindakan itu. "Ahh, banyak kok yang melanggar...."

4. Adat Istiadat

Adat Istiadat bisa disebut juga sebagai membenarkan kebiasaan lama. Dimana kebiasaan lama ini merupakan tindakan yang tidak lagi efektif dan efisien untuk dilakukan.

Namun adat istiadat disini bermakna lebih kepada keyakinan yang berasal turun-menurun dari nenek moyang. Banyak hal yang dapat kita jadikan contoh, terutama hal-hal yang kini sudah berubah karena kondisi zaman yang juga sudah jauh berubah dari kondisi zaman dahulu. Hal itu yang menyebabkan pandangan tersebut kini tidak lagi berlaku bagi kehidupan di zaman ini.

Memang, dalam satu sisi ada beberapa adat istiadat atau keyakinan nenek moyang yang baik dan layak untuk tetap diterapkan dalam kehidupan zaman ini. Tinggal bagaimana kita melihat sisi kemanfaatan dan kesesuaiannya saja. Beberapa adat istiadat yang memiliki kesesuaian dan manfaat bagi kehidupan kita harus tetap dilestarikan dan di jaga sebagai identitas sosial. (cieeee.... pesan moral)

Contoh:

Semisal ritual perjodohan yang mungkin masih terjadi di beberapa daerah di negeri ini. Perbudakan, doktrin dan pemaksaan dalam keyakinan.

5. Figurisme

Figurisme atau Ketokohan adalah sebuah cara berpikir yang menjadi sesosok manusia sebagai tolok ukur kebenaran. Dimana kita menganggap apapun yang diucapkan orang tersebut adalah benar, bagaimanapun yang dilakukan oleh orang tersebut adalah benar, dst. Sikap ini menjadi sangat berbahaya karena sangat subjektif (menilai sesuatu berdasarkan kulit, bukan isi), menjadi sesosok tokoh kebal terhadap kritik dan kesalahan. Hal ini tidak dibenarkan dalam pemikiran, karena bagaimanapun seseorang harus jujur dan terbuka mengenai kebenaran. Bahwa kebenaran bukanlah sesuatu yang dimiliki atau disandang begitu saja, melainkan sesuatu yang diraih dan dibuktikan.

Contoh:

Ketika seseorang berkata mengenai, perempuan bisa hamil ketika berenang dan kelaminnya kemasukan sperma laki-laki. Lalu, karena orang tersebut memiliki suatu kedudukan yang tinggi kita sekonyong-konyong membenarkan ucapan tersebut. Padahal ucapan tersebut tidak pernah bisa dibenarkan oleh ilmu manapun, dalam hal ini ilmu biologi dan kedokteran. (#kpai) hehehehe....

Seperti yang sebelumnya saya katakan, mungkin pembahasan ini sudah dibahas ribuan kali dalam media, pandangan, istilah dan gaya yang berbeda. Saya hanya mengutarakannya dan mudah-mudah bisa mempermudah pembaca untuk memahami maksud dan tujuan dari pembahasan ini. Lebih kurangnya ya jangan dikurangin yaa.... Untungnya sedikit saya juga.... Hehehehe....

Pembaca boleh saja menambahkan, tapi jangan mengurangi... Sebab kehidupan ini berjalan maju (bertambah) bukan mundur (berkurang).

Terimakasih....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun