Sudah sejak lama dunia hiburan di Indonesia memiliki masalah yang rumit dan sulit diuraikan bahkan oleh netizen Indonesia yang selama ini dikenal bar-bar. Namun peristiwa yang baru-baru ini terjadi, membuat saya sebagai perempuan menjadi marah dan kecewa dengan kualitas bisnis entertainment yang hanya sekedar melihat profit tanpa melihat dampak sosial secara luas.
Bagaimana tidak seorang laki-laki dengan status residivis dengan kasus Pelecehan seksual anak ketika dibebaskan dari penjara malah disambut seperti atlet olahraga peraih medali emas di Olimpiade. Ironis tapi demi rating segala sesuatu akan dilakukan bahkan ketika melawan namanya nurani bagi korban pelecehan seksual.
Sudah banyak sebenarnya akun tik-tok, Instagram yang menyuarakan ketidakberesan ini. Namun banyak juga orang yang membela kembali eksisnya S ketika tampil di muka publik. Dengan alasan S sudah menjalani hukuman penjara, untuk apa dihukum kembali atas perbuatannya.
Pernyataan-pernyataan seperti ini menandakan bahwa orang Indonesia masih menganggap remeh kasus pelecehan seksual. Dianggap kasus pelecehan seksual sama dengan kasus pencurian barang, perampokan dimana korban kehilangan barang. Padahal Kasus pelecehan seksual jauh lebih berat dampaknya bagi korban daripada kasus pencurian barang dan perampokan .
Di saat yang hampir bersamaan, Komisi Penyiaraan Indonesia (KPI) saat ini juga sedang bergelut dengan masalah oknum pegawainya yang diduga tersangkut kasus pencabulan kepada sesama karyawan. Sehingga menjadi sebuah tanda tanya bagi masyarakat termasuk saya, bagaimana dan kemana kita harus melaporkan siaran televisi yang menayangkan kembali residivis pelaku pencabulan anak dalam siaran Televisi ?
Meremehkan kasus pelecehan seksual
Orang Indonesia masih memiliki kecenderungan menganggap remeh kasus pelecehan seksual. Bahkan ketika terjadi kasus pelecehan seksual, yang disalahkan bukan pelakunya. Namun justru korban pelecehan seksual yang dianggap memancing seksualitas bagi pelaku.
Namanya suatu perbuatan kejahatan, maka yang pantas dan harus disalahkan adalah pelaku. Terlepas apakah dia memiliki trauma masa lalu sehingga melakukan perbuatan yang sama seperti yang pernah dialami, tetap pelaku yang salah ketika pelecehan seksual terjadi. Bukan menjadikan korban sebagai sumber kesalahan, itu terbalik. Namun orang Indonesia masih memandang korban sebagai penyebab sampai terjadinya pelecehan seksual.
Terbukti ketika ada berita kasus perempuan diperkosa, komentar netizen di Indonesia rata-rata hampir sama. "Makanya pakai hijab jangan baju seksi", "Makanya perempuan jangan pulang malam", dan berbagai pesan yang menyudutkan korban.
Pelecehan seksual ada berbagai macam jenisnya. Tidak hanya pemerkosaan, pelecehan juga bisa terjadi dalam bentuk verbal dan visual. Korban yang mengalami tidak hanya remaja dan dewasa, bahkan tidak sedikit bayi dan balita yang juga menjadi korban.
Artinya korban adalah mereka yang berada dalam relasi hubungan yang lemah pelaku. Â Mereka tidak memiliki kemampuan untuk melawan terhadap tindakan cabul mau pun tindakan seksual yang tidak diinginkan. Korban pelecehan seksual ini bisa dialami dari berbagai gender baik laki-laki, perempuan bahkan transgender.