Sering kali saya ditanya, "Kenapa kamu nggak pacaran?" Pertanyaan yang terdengar biasa, namun memiliki makna yang sangat dalam bagi saya. Jawaban saya bukan hanya sekadar pilihan hidup, tetapi juga sebuah perjuangan melawan realitas yang sering kali penuh dengan rasa sakit dan luka. Saya memilih untuk tidak pacaran bukan karena ingin terlihat berbeda, tetapi karena saya memahami dampak buruk dari fenomena pernikahan dini yang menghancurkan banyak kehidupan, terutama generasi muda.
Sebagai seseorang yang besar di Nusa Tenggara Barat (NTB), daerah dengan angka pernikahan dini tertinggi di Indonesia, saya menyaksikan langsung bagaimana pacaran sering kali menjadi pintu masuk menuju pernikahan dini yang tak diinginkan. Di NTB, sekitar 25% hingga 30% pernikahan yang terjadi merupakan pernikahan dini, dengan sebagian besar di antaranya melibatkan perempuan usia di bawah 18 tahun (Badan Pusat Statistik NTB, 2021). Data ini menunjukkan betapa tingginya angka pernikahan dini di daerah ini, yang sebagian besar dipicu oleh pola hubungan pacaran yang tidak sehat.
Remaja yang terjebak dalam hubungan pacaran terlalu dini sering kali kehilangan arah hidup. Mereka terbawa dalam perasaan yang mereka anggap cinta, namun tanpa bekal kedewasaan yang cukup. Kehamilan di luar nikah menjadi konsekuensinya, memaksa mereka meninggalkan pendidikan dan menjalani kehidupan rumah tangga yang penuh beban. Menurut Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak NTB, lebih dari 40% remaja yang menikah di NTB melaporkan bahwa mereka tidak siap secara mental dan emosional. Hal ini sering kali berujung pada perceraian atau kekerasan dalam rumah tangga.
Hidup dalam Lingkaran Tak Berujung
Di NTB, banyak remaja menikah di usia sangat muda karena terjebak dalam hubungan yang salah. Sebagian dari mereka harus berhenti sekolah hanya untuk menikah. Namun, apa yang mereka temui setelah itu? Kebahagiaan? Sayangnya tidak. Sebagian besar berakhir dengan penderitaan, terpaksa menjadi ibu muda yang harus membesarkan anak seorang diri atau menjadi janda muda yang hidup dalam kemiskinan. Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), lebih dari 60% anak perempuan yang menikah dini mengalami tekanan mental dan fisik yang berat.Keputusan saya untuk tidak pacaran adalah langkah untuk memutus lingkaran ini. Saya ingin menunjukkan bahwa ada jalan lain, jalan yang lebih penuh harapan.
Solusi untuk Mengatasi Pernikahan Dini dan Perilaku Merusak
Untuk keluar dari lingkaran pernikahan dini dan perilaku destruktif, ada beberapa langkah yang harus kita ambil:
Pendidikan yang BerkualitasPendidikan adalah kunci utama.
Dengan pendidikan yang baik, pola pikir dapat diubah, dan pintu kesempatan menjadi lebih luas. Berdasarkan penelitian UNESCO, negara dengan tingkat pendidikan perempuan yang lebih tinggi memiliki angka pernikahan dini yang lebih rendah. Oleh karena itu, akses pendidikan bagi remaja, terutama perempuan, harus diperluas.
Pendampingan dan Konseling
Remaja dan pasangan muda perlu bimbingan dari keluarga, guru, dan konselor yang dapat membantu mereka memahami konsekuensi jangka panjang dari hubungan yang tidak sehat. Penyuluhan tentang kesehatan reproduksi dan mental juga penting agar mereka bisa membuat keputusan yang lebih bijaksana.