Sebagian besar ceramah yang saya dengar, selalu bersifat transaksional ketika menjelaskan makna berbagi. Tidak salah, tetapi justru hal tersebut mengerdilkan makna berbagi yang jauh lebih inspiratif. Berbagi yang didasari rasa kemanusiaan, cinta kasih pada sesama atau semesta dan niat lillahi ta'ala..
Memberi adalah Anugerah
Banyak orang kaya secara materi, tetapi tidak pernah berbagi. Sebagian besar manusia enggan memberi. Karena itu, jika kita mampu memberi, cukuplah kita bersyukur pada sifat kasih yang Tuhan berikan pada diri kita sebagai anugerah yang besar.Â
Artinya, saat kita mampu memberi itulah sifat-sifat kasih Tuhan bersama kita. Sibukkan diri kita dengan bersyukur atas kemauan, kemampuan dan konsistensi kita untuk memberi, maka kebahagiaan jauh lebih bisa kita nikmati, ketimbang kita sibuk menunggu balasan materi apa yang Tuhan akan berikan.
Setelah Memberi Tuhan seolah 'Berhutang'
Persepsi yang sering dibangun tentang memberi adalah bahwa kalau kita memberi, Tuhan akan membalas lebih banyak. Itu boleh saja. Dampaknya, banyak orang yang memberi (sedekah uang) menunggu balasan uang pula. Bahkan, sebagian orang seperti menunggu Tuhan  pemberian kita dengan 'bonus' yang besar. Seolah ketika kita memberi, Tuhan lantas 'berhutang' pada kita?
Mari kita mundur sejenak. Bukankah kita meyakini bahwa apa yang kita punyai semuanya, termasuk sebagian materi yang kita berikan itu sumbernya dari Tuhan? Â Apa yang kita dapatkan semuanya adalah pemberian Tuhan. Jadi tak perlu menganggap Tuhan 'berhutang' karena semua yang kita miliki dari-Nya.
Harta yang Baik, Mengalir untuk Kebajikan dan Sebaliknya
Berusahalah mencari rezeki dengan cara yang baik dan halal. Rezeki yang baik dan halal, menjadi sebab utama untuk keluarnya rezeki ke transaksi yang baik pula. Jika kita harta kita semakin banyak, tetapi kita makin sulit untuk memberi, maka patutlah kita introspeksi: apakah harta kita sudah betul-betul dicari dengan cara yang baik dan halal? Sebaliknya, Â harta yang kita mulai terasa sempit dan keluar begitu saja ke transaksi yang menyebabkan dosa, menimbulkan penyesalan berkepanjangan?
Memberi tidak Berdampak Merendahkan
Hati-hati saat memberi! Ketika anak yatim atau orang miskin dikumpulkan dalam acara ceremonial ditonton puluhan, ratusan bahkan ribuan pasang mata untuk diberi donasi, itu masih wajar.Â
Tetapi miris ketika pembawa acara atau panitia 'menyebutkan inilah anak anak yatim dan orang miskin', itu sangat menghancurkan kepercayaan diri dan mencabik mental anak-anak dalam jangka panjang. Mungkin anak-anak akan merasa senang sesaat, tetapi cara memberi semacam ini juga berdampak mengikis perasaan terhormat dalam diri yang diberi.
Adalah Ali Zainal Abidin (38-95 H), anak dari Sayyidina Husein, cucu dari Sahabat Ali bin Abi Thalib kw dan Fatimah Azzahra, dan Cicit dari Nabi Muhammad SAW, semasa hidup memberi dengan cara yang unik.Â
Beliau berbagi pada tengah malam, memanggul sendiri gandum di punggungnya dan dibagikan kepada fakir miskin sekitar Madinah. Hampir setiap malam beliau lakukan, sepanjang itu pula anak-anak yatim, para janda miskin, orangtua renta setiap pagi menemukan sekarung gandum di teras rumahnya. Bertahun tahun, Ali Zainal berbagi tanpa diketahui oleh orang lain, juga oleh yang menerima.
Hingga suatu hari, beliau wafat. Di hari setelah wafat beliau, terhenti pula semua pemberian misterius di rumah-rumah orang orang miskin. Tersebar cerita dari mulut ke mulut, saat jenazahnya dimandikan, Â punggunya hitam kapalan, mirip punggung pemanggul karung gandum. Ini makin menguatkan bahwa beliau-lah yang selalu berbagi di malam hari. Â
Salam berbagi, menebar kebahagiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H