Berbicara mengenai penataan ruang perkotaan, sudah barang tentu kita akan membahas mengenai manajemen kota yang mana merupakan salah satu unsur paling penting dalam menciptakan suatu keberlanjutan serta sirkulasi hidup pada dimensi ruang perkotaan. Berkaca pada poin ke-11 Sustainable Development Goals(SDGs), manajemen kota yang diidamkan adalah manajemen yang mampu menciptakan sebuah kota inklusif yang aman, berketahanan, dan berkelanjutan. Lantas, apa itu inklusif?Â
Inklusif merupakan suatu pendekatan untuk membangun dan mengembangkan sebuah lingkungan yang semakin terbuka dimana mengajak masuk dan mengikutsertakan semua orang dengan berbagai perbedaan latar belakang, karakteristik, kemampuan, status, kondisi, etnik, budaya, dan lainnya tanpa terkecuali.Â
Oleh karena itu, keberadaan kota yang inklusif kemudian akan mampu membawa perubahan sederhana dan praktis yang niscaya akan menciptakan lingkungan yang menyenangkan karena setiap warga masyarakat tanpa terkecuali saling menghargai dan merangkul setiap perbedaan. Lebih jauh, perwujudan kota yang inklusif diharapkan turut mampu menggapai tujuan ataupun membukakan lebar-lebar pintu untuk poin ke-5 dari SDGs yaitu menjamin kesetaraan gender (gender equity) dimana kota yang baik kemudian adalah kota yang mampu memenuhi kebutuhan bagi siapapun yang ada didalamnya, entah itu laki-laki, perempuan, anak-anak, orang dewasa, lansia, kaum normal, atau bahkan kaum-kaum berkebutuhan khusus seperti kaum difabel atau penyandang disabilitas.
Berdasarkan World Health Organization(WHO),difabel atau different abilityadalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan bahwa seseorang memiliki kemampuan berbeda atau melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda/ berkebutuhan khusus yang maknanya lebih positif dari cacat atau kekurangan. Pada dasarnya, terdapat perbedaan konseptual antara difabel dan disabilitas seperti pada Gambar 2.
Hal ini sedikt banyak bertentangan dengan Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menyatakan bahwa penyandang difabel/ disabilitas memiliki hak untuk hidup; bebas dari stigma; privasi; keadilan dan perlindungan hukum; pendidikan; pekerjaan, kewirusahaan, dan koperasi; kesehatan; politik; keagamaan; keolahragaan; kebudayaan dan pariwisata; kesejahteraan sosial; aksesibilitas; pelayanan publik; perlindungan dari bencana; habilitasi dan rehabilitasi; konsesi; pendataan; hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat; berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi; berpindah tempat dan kewarganegaraan; serta bebas dari tindakan diskriminasi, penelantaran, penyiksaan, dan eksploitasi.Â
Cukup miris mengingat label ‘Kota Layak Huni’ yang disematkan ternyata masih hanya berpihak sekonyong-konyongnya pada asa dan kebutuhan kaum normal dengan sedikit mengindahkan asa dan kebutuhan kaum difabel yang berkebutuhan khusus ini. Padahal, kota yang nyaman dan layak huni adalah kota yang mampu memenuhi kebutuhan serta mimpi-mimpi siapa saja yang ada di dalamnya tanpa terkecuali.
Berkaca pada kota-kota di Indonesia yang dianggap ramah terhadap kaum difabel seperti Kota Banda Aceh (pilot projectkota ramah difabel), Kota Yogyakarta (jawara dua kali Kota Layak Huni), dan Kota Semarang, adapun hal-hal ‘sederhana’ yang dapat dilakukan Kota Balikpapan untuk lebih berbenah dalam memperhatikan asa dan mimpi kaum luar biasa.
Ini meliputi pemberian kemudahan layanan publik akan rumah murah bagi tempat mereka bernaung, pemberdayaan dan pelatihan dalam bentuk Rumah Kreatif berbasis keterampilan yang turut mampu menyokong sektor informal Kota Balikpapan, pengikutsertaan dalam pemilihan umum dengan menggunakan kertas pemilih braille, atau bahkan melakukan rekayasa jalan untuk menyokong kemudahan aksesibilitas mereka di ruang publik seperti pembuatan pedestrian waysdan zebra cross penyeberangan jalan.Â
Dalam tata aturan rekayasa fisik jalan bagi penyandang cacat, terdapat tiga macam tekstur ubin sebagai jalur pemandu bagi difabel yaitu tekstur ubin pengarah bermotif garis-garis sebagai penunjuk arah perjalanan, tekstur ubin peringatan bermotif bulat sebagai pemberi peringatan terhadap adanya perubahan situasi di sekitarnya/ warning, serta tekstur ubin berbentuk blockyang berfungsi sebagai pemandu/ guiding block.Â
Adapun gagasan rekayasa yang dilakukan adalah dengan memadukan serta menyandingkan tekstur ubin motif garis-garis dengan tekstur ubin motif bulat yang ditempatkan tepat di pinggir trotoar dengan tujuan agar para penyandang difabel bahwa telah terdapat perbedaan suasana antara pedestrian waysdengan jalan raya.Â
Selain itu, juga dibuat jalur penyeberangan yang memadukan antara zona merah keselamatan yang dipinggirannya diberikan guiding blockyang berfungsi sebagai jalur pemandu bagi difabel. Zona merah keselamatan ini juga dimaksudkan agar pengendara dapat berhati-hati dari kejauhan untuk sesegera mungkin mengurangi kecepatan ketika akan melintasi jalur penyeberangan ini.
Tak perlu muluk dan tak perlu melulu ratifikasi kebijakan pro kaum difabel sana sini yang berkepanjangan, yang terpenting adalah bagaimana membuat para kaum difabel mampu merasa setara dengan kaum normal serta mampu memenuhi asa dan kebutuhan mereka untuk mampu bergerak dan memiliki mobilitas bebas dalam ruang publik. Karena sesungguhnya pemenuhan aktualisasi diri seperti yang dicetuskan Maslow dalam hierarkinya bukan hanya milik kaum normal semata, namun sepenuh-penuhnya juga milik kaum-kaum luar biasa yang turut memiliki asa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H