Peradaban umat manusia saat ini sudah mencapai titik dimana kemajuan zaman akibat berkembangnya ilmu pengetahuan telah mendominasi hampir keseluruhan sektor kehidupan umat manusia. Dewasa ini, penggunaan teknologi digital adalah salah satu hal yang tidak asing lagi bagi keseharian kita dan yang terkhususnya adalah media sosial.
Media sosial banyak memberikan pengaruh positif bagi aktivitas keseharian manusia mulai dari sarana mempermudah komunikasi sampai menjadikan konten-konten di media sosial sebagai gaya hidup atau life style dan juga ada yang menjadikan media sosial sebagai tempat mencari penghasilan.
Menurut data dari We Are Social, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia sebanyak 191 juta orang pada Januari 2022. Jumlah ini telah meningkat 12,35% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 170 juta orang. Adapun, Whatsapp menjadi media sosial yang paling banyak digunakan masyarakat Indonesia. Persentasenya tercatat mencapai 88,7%. Setelahnya ada Instagram dan Facebook dengan persentase masing-masing sebesar 84,8% dan 81,3%. Sementara, proporsi pengguna TikTok dan Telegram berturut-turut sebesar 63,1% dan 62,8%.
Era Post-Truth dan Realitas Kebenaran Di Zaman Media Sosial
Berbicara mengenai media sosial, salah satu fungsinya adalah sebagai media atau sarana untuk menyebarkan dan membagikan informasi atau berita di berbagai belahan dunia. Arus informasi dan berita yang beredar di medsos bagaikan air bah yang mengalir deras tanpa ada hambatan. Gelombang informasi yang berkembang dengan begitu pesatnya dan juga kemudahan dalam mengakses membuat orang-orang saat ini begitu gampang dalam mendapatkan informasi terkini.
Begitu banyak informasi yang beredar di media sosial maupun internet. Namun, tidak semua berita maupun informasi yang beredar tersebut adalah sesuatu yang bisa dipertanggung jawabkan dengan baik. Internet mengizinkan satu miliar bunga untuk mekar, tapi beberapa diantaranya adalah yang berbau busuk. Informasi yang berkembang di medsos tidak semuanya merupakan hal-hal yang baik untuk dikonsumsi khalayak publik.
Salah satu contohnya adalah kabar hoaks atau berita bohong yang sering berseliweran di internet. Kabar hoax sendiri merupakan berita yang sengaja dibuat dengan tujuan yang manipulatif, yaitu bermaksud untuk menggiring opini publik kepada satu hal tertentu yang menyesatkan. Dengan kenyataan yang diputar balikkan, kabar hoaks mampu untuk mempengaruhi pola pikir, perasaan dan tindakan dari orang-orang.
Sehingga, informasi yang didapatkan adalah sebuah kepalsuan yang tak bisa dibuktikan secara valid kebenarannya. Tidak ada lagi standar validasi yang menjadi landasan objektif dalam menilai suatu berita karena kebenaran di selewengkan begitu saja demi memuaskan hasrat kepentingan si pembuat berita. Oleh karenanya, akhir-akhir ini muncul suatu istilah yang sering disebut "era post-truth".
Era post-truth (kebenaran pasca-fakta) merujuk pada sebuah era di mana opini publik terbentuk lebih berdasarkan pada emosi dan keyakinan pribadi daripada fakta konkrit yang ada. Istilah ini pertama kali dicetuskan oleh seorang penulis berkebangsaan Amerika Serikat bernama Ralph Keyes dalam bukunya berjudul "The Post Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life".
Di era ini, keabsahan dari sebuah informasi yang beredar tak lagi dipertanyakan. Orang-orang dengan begitu mudahnya mengonsumsi informasi yang tersedia tanpa adanya pertimbangan kritis dalam mencerna isi dari informasi tersebut. Akibatnya, kabar-kabar bohong maupun berita hoaks yang merebak di berbagai platform media sosial menjadi "ranjau" tersendiri bagi para pembaca karena terkadang kita tidak tahu mana berita bohong atau hoax dan mana berita yang sungguhan.
Berdasarkan data dari kominfo, terdapat 9.546 berita hoaks yang tersebar di berbagai platform media sosial dalam kurun waktu Agustus 2018 sampai Maret 2022. Angka ini cukup mencengangkan mengingat bahwa angka pertumbuhan penggunaan media sosial yang terus naik dari tahun ke tahun. Sehingga bisa dikatakan bahwa kepalsuan adalah realitas kebenaran di era post truth. Dimana berita-berita yang benar dan sesuai fakta bisa saja tercampur baur dengan berita-berita yang tidak sesuai dengan fakta dan tak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan obyektif.
Kabar bohong ataupun ujaran kebencian yang dilontarkan oleh satu pihak bisa saja menjadi salah satu faktor penyebab perpecahan di tengah kehidupan sosial bermasyarakat. Di era post-truth, kecenderungan untuk mempromosikan informasi yang tidak akurat atau tidak terverifikasi dapat merusak pandangan kita tentang dunia, dan dapat memicu ketidakpercayaan, kebencian, dan diskriminasi. Dampaknya, akibat dari informasi bohong tersebut ialah terciptanya prasangka negatif kepada satu pihak yang menimbulkan perilaku kekerasan dalam masyarakat.
Di era post truth ini nilai-nilai kemanusiaan seperti persaudaraan, perdamaian, keadilan, toleransi dan kasih sayang seakan luntur oleh informasi-informasi yang sengaja dipelintirkan demi memuluskan kepentingan dan merusak harmonisasi di tengah kehidupan sosial bermasyarakat.
Islam Menjawab Problematika Kemanusiaan di Era Post-Truth
Agama islam merupakan sebuah ajaran yang dibawa oleh seorang nabi utusan Tuhan yang bernama Muhammad SAW (570-632) di Jazirah Arabia, sebuah tempat yang kering nan tandus sekitar kurang lebih 1400 tahun yang lalu yang saat itu, kondisi masyarakat mereka adalah masyarakat yang nihil akan nilai-nilai moral. Kehidupan mereka sangat kasar, primitif dan tidak beradab dan tradisi paganisme (penyembahan berhala) masih sangat kuat waktu itu.
Namun dengan datangnya sosok revolusioner, yakni Muhammad SAW yang datang membawa ajaran Tauhid untuk menyempurnakan ajaran-ajaran yang telah dibawa utusan Tuhan sebelumnya, beliau mampu untuk menata kembali kehidupan masyarakat yang disebut masyarakat Jahiliyah masa itu. Masyarakat yang dulunya tidak mengenal tata krama diubah oleh beliau menjadi sebuah peradaban yang saat ini dikenal dengan istilah "masyarakat madani" yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Oleh sebabnya, ajaran islam yang berlandaskan Tahuid atau monotheisme murni yang diajarkan Nabi Muhammad SAW sangatlah tinggi dalam mengangkat derajat nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan oleh islam dilandasi oleh rasa ketakwaan kita kepada Allah SWT. Artinya bahwa, doktrin kemanusiaan dalam islam tidaklah kontradiksi atau bertentangan dengan ajaran syariat. Justru, nilai kemanusiaan adalah hal yang sangat dijunjung dalam islam terbukti dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Hujurat: 13, QS. Al-Isra: 33, QS. An-Nisa: 36 dan masih banyak yang lainnya.
Ini menjadi satu hal relevan ketika melihat kondisi kemanusiaan di era post-truth seperti saat ini. Dimana kebenaran yang terdistorsi mampu untuk menciptakan sebuah polarisasi sehingga menggangu sebuah harmonisasi yang terjalin di antara kehidupan sosial bermasyarakat. Aspek kemanusiaan yang perlahan pudar mampu merubah nilai dan pandangan hidup dari suatu bangsa yang akan berpengaruh nanti terhadap karakteristik generasi muda kedepannya.
Oleh sebab itu, spirit ajaran islam yang berlandaskan ajaran Tauhid yang mengatur bagaimana hubungan kita dengan Tuhan (habluminallah) dan hubungan kita dengan sesama manusia (hablumminannas) mampu untuk reaktualisasi kembali di tengah kehidupan bermasyarakat. Agar bagaimana konsep ajaran islam yang sesuai dengan waktu dan tempat (islam shalihun li kulli wal zaman al makan) yang sesuai dengan aspek kemanusiaan benar-benar terintegrasi dengan nyata di kehidupan masyarakat modern yang hidup di era post-truth ini.
Selain itu, kesadaran kritis dan rasional dalam memilah berita juga sangat dibutuhkan agar bagaimana keyakinan yang kita percayai dari suatu berita maupun informasi tidak menciptakan suatu kebenaran semu yang pada akhirnya menjebak kita dalam sebuah kenyataan palsu. Sebagai agama yang menempatkan kebenaran di atas segalanya, Islam juga menekankan pentingnya berfikir kritis, mencari sumber informasi yang valid dan memastikan kebenaran sebelum menyebarkan informasi.
Dalam hal ini, para pemimpin muslim dan para ulama memiliki tanggung jawab untuk mempromosikan dan memperjuangkan kebenaran, serta menghindari memperkuat pandangan dan opini yang salah. Mereka harus mendorong masyarakat untuk membaca, mencari informasi yang akurat dan mengembangkan kepekaan terhadap fakta dan data.
Ketika semua umat manusia merangkul nilai-nilai kemanusiaan dan menempatkan kebenaran di atas segalanya, kita dapat mencapai masyarakat yang lebih baik, adil dan damai di era post-truth.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H