Mohon tunggu...
Rizky Ridho
Rizky Ridho Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Nama saya Rizky Ridho Pratomo, mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta. Insyaallah menjadi penulis , peneliti, pembuat kebijakan, pengajar, dan penasehat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Semua Punya Kesempatan

8 Juni 2019   23:02 Diperbarui: 8 Juni 2019   23:19 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin kita semua pernah sesekali belajar Marxis, sebuah ideologi atau pemikiran tentang pertentangan kelas. Isi pikiran Marx mengungkapkan kalau perjuangan manusia adalah perjuangan tentang kelas: antara elit dan proletar, kaya dan miskin, bos dan buruh. Marx mengatakan hal yang benar karena dimanapun kita tinggal pasti akan ada pertentangan-pertentangan. Itu tidak bisa dihilangkan sebenarnya, karena kalau dipiki-pikir, sebuah tingkatan kelas itu penting.

Tingkatan kelas menciptakan sebuah hierarki yang bermanfaat untuk keteraturan sosial. Tidak mungkin dunia akan berjalan tanpa adanya seseorang yang paling atas untuk mengatur masyarakatnya.

Idealnya, setiap orang yang berada di pucuk kepemimpinan: manajer, direktur, ketua umum bahkan presiden adalah tokoh atau figur yang bisa dipercaya dan amanah. Mereka akan memberikan kesempatan terhadap siapapun untuk berkembang sesuai potensi dan bakatnya. Namun, manusia sering dibutakan oleh kekuasaan dan kekuatan sehingga menciptakan kondisi ketidaksetaraan.

Dunia ini tidak setara. Dalam masyarakat hindu (koreksi kalau saya salah), masyarakatnya terdiri dari empat kasta: Brahma, ksatria, waisya, sudra. Sistem kelas mereka sangat kaku, tidak ada panjat sosial dan kesempatan yang sama antara keempat kasta ini, sehingga ketidaksetaraan dalam kehidupan bermasyarakat sangat terlihat.

Di Prancis, dulu masyarakatnya terbagi sangat jelas antara kaum elit yang bersantai ria dan proletar yang menjadi budak pekerja. Borjouis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar sehingga memicu apa yang dibuku sejarah disebut revolusi prancis. Dalam organisasi, ada ketua umum, kepala departemen dan anggota divisi.

Kelihatannya, sejarah dan kehidupan nyata mengisahkan bahwa kelas-kelas masyarakat itu given by nature. Kita digiring untuk menerima nasib hidup dan lahir dalam kasta atau keluarga tertentu.  Memang, kita tidak bisa meminta untuk dilahirkan di keluarga yang berada, (jika bisa, hidup ini tidak akan mendapatkan esensinya). 

Keluarga yang kita miliki adalah sebuah garis takdir yang sudah tertulis rapi dalam Kitab Langit. Mengubahnya? Tidak mungkin, karena apa yang sudah tertulis disana tidak bisa diubah (kecuali kehendak Tuhan tentunya). Hal ini mungkin yang membuat kita patah semangat karena segalanya sudah dituliskan dan ditakdirkan untuk terjadi. Tapi, apakah sebegitunya kita menyerah? Kita bisa mengubah nasib kita.

Saya teringat dengan perkataan Pak Sandiaga, bahwa masyarakat Indonesia membutuhkan kesempatan untuk mengakses lapangan pekerjaan. Kata yang saya garisbawahi ini adalah kesempatan. Pernyataan ini menarik, karena memang saya tidak pernah berpikir ke arah sana. Tapi, sebenarnya bukankah semua agama itu mengajarkan kalau manusia punya kesempatan yang sama: Kesempatan dalam mengubah nasibnya, merubah derajat keluarganya ataupun mengubah diri sendiri. 

Undang-Undang dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia juga mengatakan demikian. Lalu, siapa yang menghambat terbukanya pintu-pintu kesempatan tersebut? Kitakah? Orang lain? Atau Tuhan kita sendiri?

Tuhan memberikan kita kesempatan untuk mengubah nasib hambanya. Selama kita masih bernafas, punya pikiran, akal dan jiwa yang sehat, ada banyak kemungkinan yang bisa dilakukan. Nabi Adam dan Siti Hawa diberikan kesempatan untuk menebus dosanya setelah memakan buah khuldi.

Setiap dosa yang kita buat selalu ada jalan untuk penebusan. Bahkan, Tuhan menjadikan kita sebagai pemimpin di muka bumi. Bukankah itu kesempatan yang kita inginkan? Jika Tuhan membukakan banyak kesempatan, siapakah yang menutupnya?

Dalam sejarah, banyak terjadi pertentangan karena kaum elit menutup kesempatan bagi kaum proletar untuk melakukan panjat sosial. Dan sebenarnya panjat sosial merupakan hak setiap manusia untuk didapatkan. Mereka yang menutupnya mungkin adalah orang yang termakan kekuatan dan kekuasaan sehingga alpa kalau dia adalah manusia fana yang telah diberikan kesempatan oleh Tuhan dan tidak memberikan hal yang sama kepada orang lain.

Kalau di era sekarang, biasanya orang akan mengatakan tidak ada kesempatan jika topiknya adalah pekerjaan. Beberapa orang bilang kepada saya kalau mencari kerja itu sulit. Mungkin karena skill yang dicari tidak cocok. Tapi, jika melihat esensi dari manusia itu sendiri, bukankah kita makhluk yang adaptif?

Sedangkan kalau asumsinya mengarah ke kita sendiri, coba kita refleksi diri, adakah yang sering menyerah kepada keadaan dan menurunkan targetnya? Saya tidak akan menilai kalau hal itu jelek, bahkan saya sendiri terkadang seperti itu. Situasi seperti keadaan ekonomi dan kurangnya dukungan inner circle sering menghambat kita. Terkadang, pikiran kita sendiri yang menghambat kemajuan karena terlalu berpikir jauh dan memikirkan hal-hal yang belum terjadi sehingga kita menjadi takut.

Pesan yang ingin saya sampaikan ada dua. Pertama, Tuhan sebenarnya memberikan kesempatan yang tidak terbatas bagi manusia untuk mengubah nasibnya. Selama mereka punya akal, pikiran, nurani, jiwa dan fisik yang sehat, manusia bisa melakukan apapun yang mereka inginkan. Tapi, karena dunia dibentuk oleh ide dan persepsi manusia dan secara bersamaan membentuk sifat tamak dan serakah akan kekuasaan, tidak semua manusia bisa mendapatkan kesempatan yang sama dalam hal panjat sosial.

Namun, menggeneralisir bahwa semua manusia itu pada dasarnya jahat dan picik adalah pandangan yang sempit. Sifat manusia itu kompleks karena sering berubah-ubah. Namun, saya meyakini ada satu hal yang merupakan karakteristik manusia. Ia adalah empati. Mungkin dengan empati, kita bisa memberikan kesempatan baik itu untuk pekerjaan, kehidupan sosial maupun diri sendiri.

Kedua, bisa juga karena diri kita sendiri yang memasang pembatas lewat pikiran negatif kita. Pikiran adalah kekuatan sekaligus kelemahan manusia. Jika manusia terlalu lama terjebak dalam ruang negatif, maka ia tidak bisa mengaktifkan kekuatannya. Terlepas dari berbagai hipotesis tentang kekuatan potensial otak, pikiran akan dormant jika kita terlalu terpaku pada ketakutan ilusional.      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun