Mungkin kita semua pernah sesekali belajar Marxis, sebuah ideologi atau pemikiran tentang pertentangan kelas. Isi pikiran Marx mengungkapkan kalau perjuangan manusia adalah perjuangan tentang kelas: antara elit dan proletar, kaya dan miskin, bos dan buruh. Marx mengatakan hal yang benar karena dimanapun kita tinggal pasti akan ada pertentangan-pertentangan. Itu tidak bisa dihilangkan sebenarnya, karena kalau dipiki-pikir, sebuah tingkatan kelas itu penting.
Tingkatan kelas menciptakan sebuah hierarki yang bermanfaat untuk keteraturan sosial. Tidak mungkin dunia akan berjalan tanpa adanya seseorang yang paling atas untuk mengatur masyarakatnya.
Idealnya, setiap orang yang berada di pucuk kepemimpinan: manajer, direktur, ketua umum bahkan presiden adalah tokoh atau figur yang bisa dipercaya dan amanah. Mereka akan memberikan kesempatan terhadap siapapun untuk berkembang sesuai potensi dan bakatnya. Namun, manusia sering dibutakan oleh kekuasaan dan kekuatan sehingga menciptakan kondisi ketidaksetaraan.
Dunia ini tidak setara. Dalam masyarakat hindu (koreksi kalau saya salah), masyarakatnya terdiri dari empat kasta: Brahma, ksatria, waisya, sudra. Sistem kelas mereka sangat kaku, tidak ada panjat sosial dan kesempatan yang sama antara keempat kasta ini, sehingga ketidaksetaraan dalam kehidupan bermasyarakat sangat terlihat.
Di Prancis, dulu masyarakatnya terbagi sangat jelas antara kaum elit yang bersantai ria dan proletar yang menjadi budak pekerja. Borjouis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar sehingga memicu apa yang dibuku sejarah disebut revolusi prancis. Dalam organisasi, ada ketua umum, kepala departemen dan anggota divisi.
Kelihatannya, sejarah dan kehidupan nyata mengisahkan bahwa kelas-kelas masyarakat itu given by nature. Kita digiring untuk menerima nasib hidup dan lahir dalam kasta atau keluarga tertentu. Â Memang, kita tidak bisa meminta untuk dilahirkan di keluarga yang berada, (jika bisa, hidup ini tidak akan mendapatkan esensinya).Â
Keluarga yang kita miliki adalah sebuah garis takdir yang sudah tertulis rapi dalam Kitab Langit. Mengubahnya? Tidak mungkin, karena apa yang sudah tertulis disana tidak bisa diubah (kecuali kehendak Tuhan tentunya). Hal ini mungkin yang membuat kita patah semangat karena segalanya sudah dituliskan dan ditakdirkan untuk terjadi. Tapi, apakah sebegitunya kita menyerah? Kita bisa mengubah nasib kita.
Saya teringat dengan perkataan Pak Sandiaga, bahwa masyarakat Indonesia membutuhkan kesempatan untuk mengakses lapangan pekerjaan. Kata yang saya garisbawahi ini adalah kesempatan. Pernyataan ini menarik, karena memang saya tidak pernah berpikir ke arah sana. Tapi, sebenarnya bukankah semua agama itu mengajarkan kalau manusia punya kesempatan yang sama: Kesempatan dalam mengubah nasibnya, merubah derajat keluarganya ataupun mengubah diri sendiri.Â
Undang-Undang dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia juga mengatakan demikian. Lalu, siapa yang menghambat terbukanya pintu-pintu kesempatan tersebut? Kitakah? Orang lain? Atau Tuhan kita sendiri?
Tuhan memberikan kita kesempatan untuk mengubah nasib hambanya. Selama kita masih bernafas, punya pikiran, akal dan jiwa yang sehat, ada banyak kemungkinan yang bisa dilakukan. Nabi Adam dan Siti Hawa diberikan kesempatan untuk menebus dosanya setelah memakan buah khuldi.
Setiap dosa yang kita buat selalu ada jalan untuk penebusan. Bahkan, Tuhan menjadikan kita sebagai pemimpin di muka bumi. Bukankah itu kesempatan yang kita inginkan? Jika Tuhan membukakan banyak kesempatan, siapakah yang menutupnya?