Seketika menengok ke layar handphone, teman dekat menghubungiku. Apa yang dia sampaikan sedikit mengejutkan, bahwa dia ingin berkuliah S2 di salah satu negara skandinavia. Momen itu juga, aku langsung terhanyut dengan percakapan dan menceritakan visi masing-masing. Bahagia rasanya memiliki teman yang punya satu selera dan orientasi yang mirip.Â
Kita memang nantinya akan berpisah sejenak di persimpangan, namun sebenarnya bukan hal itu yang aku khawatirkan. Yang aku khawatirkan adalah masih bolehkah kita bermimpi ditengah ketidakpastiaan?
Muncul pertanyaan seperti ini karena bagiku, aku seperti ditengah lautan ketidakpastiaan dimana banyak mimpi atau visi yang ditanggalkan karena realita kehidupan yang menyerang dengan dahsyat. Hal material menjadi tuntutan paling vital karena tanpanya, bersiaplah untuk ditempatkan dalam panti jompo dan mengais rejeki di jalanan. Â
Apalagi, jurusan yang kuampu merupakan jurusan yang kemungkinan besar akan sedikit tidak terlihat karena pemerintah yang mulai memfokuskan diri pada pendidikan vokasi dan menghasilkan lulusan siap kerja.Â
Apakah orientasi pemerintah itu salah? Itu tidak salah karena negara kita akan menyambut revolusi industri 4.0 tahun ini dan membutuhkan lulusan teknik yang akan dituntut membuat karya aplikatif yang bisa digunakan untuk mengembangkan industri produksi. Tetapi, apakah aku salah ketika berkata bahwa lowongan kerja yang membutuhkan ilmu sosial menjadi lebih sedikit?
Negara yang menganut sistem ekonomi yang lebih kapitalis-liberalis membuatnya harus terus beradaptasi dengan kebutuhan pasar. Semua hal yang tidak menyangkut pasar perlahan tapi pasti akan tersingkir.Â
Masyarakat akan berjuang untuk memiliki kemampuan yang menjawab tantangan pasar. Kalau aku diizinkan untuk menganalogikannya dengan sudut pandang Marxis dan menggunakan bahasa halus, boleh aku menyimpulkan bahwa kita saat ini sedang diperalat oleh pasar? Keberlangsungan hidup kita sedang dipertaruhkan, dan jangan kaget jika pernyataan homo homini lupus muncul dalam skala penilaian.
Pendidikan tinggi saat ini masih menjadi tolak ukur bagi kesuksesan dan martabat manusia. Namun, jika aku menaruh Bill Gates dan Alm. Bob Sadino serta Mark Zuckeberg dalam daftar tokoh inspiratif, maka asumsiku tentang pentingnya pendidikan tinggi akan runtuh seketika sehingga aku hanya mengambil nilai tertinggi dari ketiga tokoh tersebut.Â
Yang bisa aku petik dari mereka adalah passion dan kegigihan merupakan kunci kesuksesan. Kuliah saat ini hanya mengejar IPK dan mencari gelar serta untuk mencari pekerjaan. Idealisme yang berlebihan mungkin akan mengantarkan kita pada kehancuran dan ketidakpastiaan, walaupun secara aspek pengembangan diri, banyak pengalaman yang dapat diserap. Meskipun begitu, keluarga kita tidak mungkin memakan seporsi idealisme hanya untuk hidup bukan?
Itulah sumber dari  ketidakpastiaan aku, dalam artian bahwa cara kerja sebuah sistem yang ada  membuatku harus menggunakan kerangka berpikir evolusi Darwin dan cenderung realistis. Mungkin satu kalimat singkat yang dapat menggambarkannya adalah Do or Die, adapt with system or die within system.Â
Pendidikan tinggi terasa percuma jika hanya untuk mencetak lulusan kerja, bahkan pendiri Microsoft tidak perlu kuliah untuk mencapai kesuksesan tertinggi. Tidak sedikit yang memiliki kemampuan yang tidak sesuai pasar sehingga menjadi pengangguran. Lantas, masih bolehkah kita bermimpi?