Mohon tunggu...
Rizky Ridho
Rizky Ridho Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Nama saya Rizky Ridho Pratomo, mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta. Insyaallah menjadi penulis , peneliti, pembuat kebijakan, pengajar, dan penasehat.

Selanjutnya

Tutup

Hobby

"Cosmos" dari Carl Sagan, Membangun Masa Depan dengan Masa Lalu

25 November 2018   23:03 Diperbarui: 25 November 2018   23:12 1570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekilas mengenai seorang Carl Sagan, beliau merupakan seorang ahli astronomi dan fisikawan dari Amerika Serikat. Telah banyak pengalaman yang telah beliau lalui untuk menjelajah kosmos ini dengan segala keunikan dan kecermelangannya. 

Buah pikirannya tentang kosmos dan kehidupan tertuang dalam buku Cosmos. Dari buku ini, Carl Sagan merupakan seorang yang optimis terhadap masa depan peradaban manusia.

Ruang angkasa mungkin merupakan misteri terbesar dalam kehidupan manusia. Ruang dan waktu seakan tidak berlaku di antariksa yang luas ini. Cahaya menjadi pengukur jarak yang paten. 

Banyak yang masih tidak kita ketahui mengenai kosmos ini dan bagaimana cara kerja kosmos sehingga probabilitas untuk menemukan hal baru atau bahkan menghancurkan teori-teori yang sudah ada sangat tinggi. Mungkin ilmuwan telah menjawab pertanyaan mengenai asal-usul alam semesta, tetapi dalam perspektif saya, itu hanyalah sebagian kecil dari berjuta-juta pertanyaan mengenai alam semesta ini.

Bagi Carl Sagan, manusia hidup di tepi galaksi bima sakti, sehingga keberadaan kita dalam perspektif kosmos tidak sesignifikan dari yang kita bayangkan. Ini menjadi hal yang sangat mengejutkan. Jika kita hanya merupakan setitik debu diantara miliaran bintang, bukankah kemungkinan akan adanya peradaban lain selain kita besar? 

Dalam astronomi, pertanyaan ini dalam waktu relatif lama akan terus dicari jawabannya oleh ilmuwan astronomi maupun astrofisika serta matematika. Tetapi, nampaknya kita harus bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena menciptakan manusia yang memiliki rasa keingintahuan yang sangat tinggi sehingga sampai sekarang pun penelitian terus berlanjut.

Sebagai individu, saya sangat berterima kasih terhadap ilmuwan-ilmuwan zaman Yunani sampai zaman pencerahan karena telah menyumbangkan gagasan dan penemuan yang brilian yang sampai saat ini masih digunakan. 

Carl Sagan bagi saya menunjukkan apresiasi yang sangat tinggi terhadap pendahulunya karena telah meletakkan fondasi yang sangat substansial bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya sains masa kini. Tanpa adanya mereka, peradaban sekarang mungkin akan berjuang sangat keras.

Masyarakat Yunani zaman dahulu merupakan orang-orang yang jenius. Ditengah keterbatasan soal media yang digunakan, mereka dapat merumuskan atau menetapkan sesuatu dengan akurat. 

Contoh yang paling saya ingat adalah percobaan Eratosthenes. Eratosthenes terinspirasi oleh satu kitab lontar bahwa pada titik balik musim panas, tongkat yang berdiri tegak di Syene tidak memiliki bayangan. Atas dasar rasa penasaran itulah, Eratosthenes melakukan percobaan sederhana apakah tongkat yang berdiri tegak di Alexandria memiliki bayangan dan membandingkannya dengan Syene. 

Dan hasilnya memunculkan hipotesis bahwa permukaan bumi melengkung karena ada perbedaan sudut bayangan di Alexandria dan Syene. Berdasarkan percobaan diatas, Eratosthenes mengetahui bahwa keliling bumi sebesar 40.000 km. Yang menjadi perhatian saya adalah bahwa Eratosthenes dalam melakukan percobaan itu hanya mengamati tongkat dan menggunakan nalar serta intuisinya. Bagi saya, hal ini sangat menakjubkan!

Sebelum Copernicus memunculkan sebuah gagasan mengenai heliosentris, sebenarnya orang Yunani telah lebih dulu merumuskan hal itu. Ilmuwan itu ialah Aristarkhos. Beliaulah orang pertama yang mengatakan bahwa matahari merupakan pusat dari tata surya bukan bumi (geosentris). 

Namun sayangnya gagasan itu tidak diterima karena pada zaman dahulu kepercayaan bahwa bumi merupakan pusat tata surya telah mengakar di benak masyarakat dan gagasan geosentris bertahan hingga akhirnya Copernicus yang memecahkan kekeliruan itu 2000 tahun kemudian.

Masa Pencerahan atau penemuan kembali rasionalitas menjadi momen penting dalam kemajuan politik, sains, filsafat, dan lain-lain. Dari masa inilah muncul nama-nama ilmuwan seperti Johannes Kepler, Isaac Newton, Leonardo Da Vinci, Galileo Galilei, Christian Huygens dan masih banyak lagi. 

Bagi Carl Sagan, masa ini merupakan penemuan kembali atas literatur-literatur klasik yang telah 'hilang' selama berabad-abad yang memicu penelitian-penelitian dan inovasi tingkat tinggi. 

Banyak penemuan yang lahir di masa ini mulai dari hukum kepler, gravitasi, penemuan teleskop, dan sebagainya. Selain itu, ilmuwan era pencerahan menguasai banyak bidang seperti Leonardo Da Vinci yang menguasai seni, filsafat, dan sains ataupun Christian Huygens yang mahir dalam bidang hukum, teknik, sains dan masih banyak lagi. Masa Pencerahan inilah yang membuat perkembangan ilmu pengetahuan mengalami percepatan yang signifikan yang membuat Enstein menemukan teori relativitas dan mekanika kuantum.

Dua masa inilah yang membuat seorang ilmuwan seperti Carl Sagan untuk membawa ilmu pengetahuan lebih jauh lagi. Beliau tidak ingin fondasi yang telah diletakkan oleh para ilmuwan masa lalu terbuang sia-sia. 

Eksplorasi terhadap kosmos menjadi jawaban Carl Sagan bahkan seluruh ilmuwan di dunia untuk membawa umat manusia ke tingkat yang lebih tinggi, karena memang menjadi tugas ilmuwan untuk membuat penemuan yang berguna bagi peradaban manusia.

Akan tetapi, ada kegelisahan dari Carl Sagan dimana eksplorasi terhadap antariksa ini kurang menjadi fokus Negaranya. Anggaran untuk eksplorasi dengan anggaran militer berbeda jauh. 

Negara memfokuskan diri untuk pertahanan diri terhadap ancaman-ancaman eksternal terutama ketika masa perang dingin berkecamuk. Hal ini sangat disayangkan, terutama jika kita mempertimbangkan bahwa penemuan-penemuan yang dihasilkan ilmuwan digunakan untuk kepentingan yang justru sebenarnya merugikan umat manusia seperti penemuan bom atom dan pengembangan senjata nuklir. 

Hal ini justru menyimpang dari peran ilmuwan untuk membawa kemajuan bagi umat manusia. Tetapi kita tidak bisa menyalahkan ilmuwan maupun negara karena iklim lingkungan yang terpaksa membuat negara lebih menggunakan pendekatan rasional. 

Namun, ada hal positif yang dapat diambil dari perang dingin, yakni bahwa eksplorasi ke ruang angkasa menjadi sangat mungkin dilakukan karena AS dan Uni Soviet telah meluncurkan proyek antariksa ke bulan. Ini menjadi optimisme bagi kalangan ilmuwan untuk eksplorasi lebih lanjut dan dibuktikan dengan peluncuran wahana voyager I dan II untuk menjelajahi ruang angkasa yang luas ini.

Carl Sagan memiliki pengharapan bahwa semua negara akan memiliki tujuan yang sama bahwa eksplorasi ke ruang angkasa menjadi prioritas. Probabilitas terkait peradaban lain selain kita sangat tinggi dan kemungkinan peradabannya jauh lebih cerdas dari kita dengan teknologi yang lebih maju dari peradaban bumi sangat tinggi. 

Meskipun ini hanya menjadi asumsi bahkan imajinasi, akan tetapi keingintahuan untuk mencari peradaban tersebut tidak bisa lepas dari benak para astronom. Mungkin disini yang menurut saya Carl Sagan memiliki rasa kosmopolitanisme yang tinggi. 

Kehidupan dan peradaban kita hanyalah setitik debu di ruang angkasa, sehingga jika kita hancur pun sebenarnya tidak akan berpengaruh terhadap keberlangsungan siklus di kosmos ini. 

Namun, sebagai umat manusia, terlepas dari negara apapun kita, tentunya eksplorasi menjadi penting karena dapat menyumbang dan mereklamasi pengetahuan kita yang masih terbatas terkait kosmos. Karena jika berbicara mengenai kosmos, bukan eksistensi negara yang dipertaruhkan, tetapi eksistensi umat manusia yang menjadi taruhannya. Mungkin kita hanya setiitk debu di ruang angkasa bahkan mungkin kita satu-satunya makhluk hidup yang tinggal di galaksi, namun rasa berpuas diri terhadap kehidupan kita bukanlah jawaban. 

Pesan dari Carl Sagan mungkin sangat utopis tapi menunjukkan bahwa beliau optimis bahwa semua negara akan bersatu untuk kepentingan yang lebih besar. Karena tentunya, misalkan peradaban lain muncul, umat manusia harus menunjukkan keunggulan-keunggulannya dan menggabungkan seluruh pengetahuan yang dimiliki agar bisa membuat bumi menjadi tempat yang lebih baik lagi.

Masa yang telah kita lalui tidak lepas bagaimana kontribusi para peradaban dan ilmuwan terdahulu. Apresiasi tinggi harus dituturkan karena merekalah, kita menikmati kemewahan dan ruang yang sangat luas untuk mereklamasi pengetahuan serta memungkinkan untuk eksplorasi kosmos. 

Tanpa teleskop Galileo, mikroskop Leuiwenhoekk, gagasan heliosentris Aristakhos, teorema Phytagoras dan gagasannya mengenai polyhedron, hukum Kepler, teorema Enstein, kita tidak mungkin sampai pada tahap peradaban yang seperti kita nikmati sekarang. 

Itu yang dimaksud membangun masa depan dengan masa lalu. Mungkin sedikit mengutip salah satu pernyataan Bung Karno yang paling terkenal dan relevan, yakni JAS MERAH (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah) memang merupakan adanya. 

Masa lalu menjadi fondasi kita untuk terus maju menyongsong zaman. Yang buruk diperbaiki yang baik dipelihara bahkan lebih ditingkatkan kembali. Selalu ingat mengenai peninggalan masa lalu untuk masa depan yang lebih baik.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun