Mohon tunggu...
Rizky Ridho
Rizky Ridho Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Nama saya Rizky Ridho Pratomo, mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta. Insyaallah menjadi penulis , peneliti, pembuat kebijakan, pengajar, dan penasehat.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bangkitnya Prinsip Realisme

22 Oktober 2018   23:33 Diperbarui: 22 Oktober 2018   23:34 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini  hanyalah opini penulis terkait  tren dunia internasional yang sedang terjadi saat ini. Kritik dan saran yang membangun akan sangat penulis hargai.

Dunia sedang ramai memperbincangkan "turunnya demokrasi" dan sebagainya. Fenomena "Brexit" di Uni Eropa menjadi titik balik bagi berkembangnya populisme sayap kanan di Eropa. Naiknya Donald Trump menjadi "pelumas" dan juga motivasi bagi populisme sayap kanan di Eropa untuk naik ke puncak kepemimpinan.

Kekuatan revisionis seperti Cina dan Rusia semakin meningkat  apalagi dengan kesuksesan Rusia mendapatkan Crimea. Ekonomi Cina yang kuat mulai menjadi pengganti alternatif  bagi dunia khususnya Asia.

Ketika Francis Fukuyama mengeluarkan tesis "The End of History", dia mengatakan bahwa tatanan Liberal pada akhirnya akan mendominasi dunia. Pemikiran Hegel mengatakan sejarah bergerak ke arah yang semakin rasional. Jika digabungkan antara pemikiran Francis Fukuyama dan Hegel akan mendapatkan sintesis bahwa Tatanan Liberal merupakan tatanan yang rasional karena saat ini, dunia Internasional didominasi oleh prinsip Liberal. 

Hal ini sangat jelas karena banyak negara yang telah menerapkan nilai demokrasi, supremasi HAM, institusi internasional dan pasar bebas. Bahkan negara monarki pun juga menerapkan prinsip demokrasi seperti Malaysia dan Jepang.

Akan tetapi, jika tatanan liberal merupakan tatanan yang (re: mungkin) lebih rasional dibandingkan tatanan sebelumnya, satu pertanyaan yang muncul di benak penulis adalah "Mengapa gelombang populisme sayap kanan justru mulai muncul sebagai tandingan untuk "menggoyang" prinsip liberalisme?". Tentunya hal ini memunculkan sebuah persepsi bahwa tatanan liberal yang berlaku saat ini mulai diragukan rasionalitasnya oleh gelombang populisme.

Keluarnya Trump di TPP, perjanjian Paris, renegosiasi perjanjian dengan kerjasama multilateral seperti NAFTA ataupun Brexit dapat menjadi contoh paling nyata bagaimana tatanan liberal mulai "digoyang". Ironisnya, yang menggoyangkan status quo justru dari aktor utama prinsip Liberal, yakni AS. Trump melihat bahwa AS telah mengalami defisit perdagangan yang besar terhadap negara mitranya.

Oleh karena itu, sikap Trump terhadap NAFTA dan kebijakan perang dagang dengan Cina menunjukkan bahwa Trump ingin mengembalikan supremasi AS dan menghilangkan kerugian yang diderita.

Uni Eropa menghadapi ancaman populisme sayap kanan yang sangat keras. Beberapa negara anggota Uni Eropa seperti Hungaria, Austria, dan Polandia telah digenggam oleh kaum populisme sayap kanan. Jerman pun sudah mulai disusupi partai populisme sayap kanan dimana partai Alternative for Germany (AfD) menjadi partai ketiga terbesar di parlemen.

Memang, Partai Christian Democratic Union of Germany (partai pendukung Merkel) menjadi yang terbesar di parlemen, akan tetapi Merkel harus lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan.

Prancis dibawah Macron mungkin masih aman dengan partainya En Marche! mendominasi sebagian besar kursi parlemen, tetapi jika Macron tidak jeli dalam merumuskan kebijakannya dan menunaikan janji kampanye, Front Nationale siap mengkapitalisasi setiap kesalahan yang dibuat.

Lalu apa kaitannya fakta diatas dengan pertanyaan penulis? Persoalan ini muncul karena faktor rasionalitas yang sekarang mulai berlaku. Penilaian rasionalitas tentunya berasal dari pemikiran manusia yang tentunya berdasarkan fakta empiris. Selama bertahun-tahun, klaim Liberal bahwa tatanan merekalah yang terbaik mulai diruntuhkan dengan rasionalitas kaum populisme sayap kanan atau katakanlah prinsip nasionalisme.

Ekonomi pasar bebas yang menjadi andalan liberalisme tidak mampu menyelesaikan stagnansi ekonomi dunia dan lebih membawa kerugian karena batas-batas dalam perdagangan pun hilang sehingga negara merugi. Kerugian ini pun pada akhirnya akan bermuara pada lapangan pekerjaan dan penghasilan sehingga pada akhirnya merugikan masyarakat. Rasio ini mungkin yang digunakan Trump apalagi dengan jargonnya "Make American Great Again", Trump termotivasi untuk membuat jargon tersebut menjadi kenyataan.

Masalah imigran di Uni Eropa menjadi pelik ketika beberapa negara mulai menutup perbatasannya dan membatasi jmigran yang masuk. Padahal, dalam hukum internasional, imigran pun harus diperlakukan sama tanpa adanya diskriminasi karena mereka juga manusia yang wajib untuk dilindungi.

Akan tetapi, mereka tetap menutup perbatasannya dengan dalih keamanan, apalagi dengan serangan teroris di negara seperti Prancis dan Spanyol. Selain itu, dengan banyaknya imigran yang masuk akan membuat ekonomi menjadi tidak stabil.

Jika kita mengaitkan fenomena ini dengan sisi rasionalitas yang berlaku di dunia internasional saat ini, ada fragmentasi dan munculnya nilai atau prinsip yang nasionalistik. Dalam artian, bahwa tatanan dunia liberal, tidak membawa keuntungan bagi negara dan justru mengurangi kedaulatan Negara.

Pudarnya perbatasan negara, kedaulatan dalam membuat peraturan yang berkurang membuat Negara berpikir untuk mengembalikan kedaulatan mereka dari tangan institusi internasional sehingga negara bebas untuk mengelola kedaulatannya sesuai kebutuhan. Apakah dengan kerangka berpikir seperti ini, ada sebuah kemunduran sejarah jika menggunakan diskursus Hegel?

Negara adalah aktor yang sangat kompleks tetapi rasional. Mereka adalah aktor yang dipenuhi oleh prinsip maupun nilai yang menjadi pedoman Negara. Dan tentunya, kita kembali lagi dengan fungsi utama negara sebagai aktor yang menjaga masyarakat di dalamnya tetap aman dan menyejahterakan masyarakat.

Bagi penulis, Negara tidak mempedulikan tatanan macam apa yang berlaku, namun selama tatanan itu bisa memenuhi fungsi utama negara, mereka tidak akan mempermasalahkan itu. Akan tetapi, jika suatu tatanan tidak membawa negara memenuhi fungsinya, bahkan tatanan liberal sekalipun akan ditolak dan ditinggalkan.

Terlebih, negara dikendalikan oleh kumpulan orang cerdas yang sebenarnya merupakan manusia, yang memiliki keterbatasan. Apalagi, mereka dipilih oleh rakyat sehingga memiliki tanggung jawab yang sedemikian besar. Rasionalitas manusia pun dapat berubah tergantung situasi yang berkembang.

Bagi penulis, ini bukan merupakan kemunduran sejarah kalau misalkan mengacu pada pemikiran bahwa sejarah bergerak linear dan semakin rasional. Kasarnya, dengan Negara memikirkan masyarakatnya, justru negara bersikap lebih rasional karena mereka memikirkan bagaimana nasib sejumlah populasi rakyatnya.

Tetapi, ini akan menjadi pertarungan yang menarik antara rasionalitas prinsip liberalisme dengan realisme dalam dinamika dunia internasional. Pemenangnya pun mungkin akan menasbihkan dirinya sebagai prinsip yang lebih rasional dibandingkan yang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun