Mohon tunggu...
Ridhony Hutasoit
Ridhony Hutasoit Mohon Tunggu... Auditor - Abdi Negara

Aku ini bukan siapa-siapa, hanya terus berjuang meninggalkan jejak-jejak mulia dalam sejarah peradaban manusia, sebelum kelak diminta pertanggungjawaban dalam kekekalan.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Yuk, Jaga Stabilitas Sistem Keuangan dengan Financial Distancing!

7 April 2020   07:07 Diperbarui: 7 April 2020   07:23 4519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Program social distancing yang kemudian diperbaiki WHO menjadi physical distancing menjadi salah satu aktivitas utama dalam rangka antisipasi penyebaran virus corona.  Di sisi lain, penyebaran virus COVID-19 (Corona) berdampak pada pertumbuhan ekonomi dunia. Tanggal 27 Maret 2020, International Monetary Fund (IMF) memprediksi pertumbuhan ekonomi negatif. Hal ini senada dengan angka prediksi yang dikeluarkan JP Morgan dan The Economist Inteligence Unit masing-masing sebesar negatif 1.1% dan negatif 2,2%. 

Berdasarkan paparan Kementerian Keuangan dalam press conference tanggal 1 April, pandemik Corona mengakibatkan tekanan pada perekonomian seluruh negara dengan dampak mencapai 3%-16% dari Gross Domestic Product (GDP). Stabilitas keuangan menjadi kunci dalam menjaga perekonomian dan kepercayaan masyarakat. Financial distancing bisa menjadi solusi menjaga stabilitas keuangan di tengah ketidakpastian karena dampak pandemik Corona.

Apa itu financial distancing? Beberapa referensi memiliki definisi yang berbeda, namun konteks definisi financial distancing disesuaikan dengan maksud artikel ini. Financial Distancing dalam konteks artikel ini adalah tindakan disiplin untuk menjaga diri atau jarak dari aktivitas atau transaksi keuangan yang berlebihan atau tidak wajar sebagaimana sempat disajikan dalam artikel sebelumnya berikut ini kompasiana.com/ridhonym.

Lantas apa saja bentuk-bentuk financial distancing yang dapat kita lakukan?

Pertama, hindari rush atau melakukan penarikan uang tabungan/simpanan/deposito di bank atau entitas keuangan sejenis secara berlebihan. Bisa dibayangkan jikalau masyarakat bersamaan menarik uang di perbankan. Hal ini bisa menghacurkan likuiditas bank. Jika likuiditas bank terganggu, maka bank akan sulit melakukan bisnis. Salah satunya adalah penyaluran kredit. 

Likuiditas adalah jantung bagi sektor perbankan. Sama seperti tubuh, jikalau jantung berhenti berdetak, maka aliran darah terhenti dan mengakibatkan kematian. Oleh sebab itu, langkah cerdas yang dapat dilakukan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan adalah dengan menggunakan tabungan/simpanan kita dengan secukupnya. Percayakan keamanan uang kita kepada perbankan.

Kedua, hindari belanja berlebih (panic buying). Physical distancing melalui work form home, study from home, hingga ibadah pun di rumah saja, menyebabkan kita membutuhkan persediaan makanan yang cukup selama kita melakukan self-quarantine ini. Permasalahannya, ada sebagian orang yang terlalu panik sehingga membeli persediaan di luar kewajaran. 

Salah satu cara agar kita terhindar dari panic buying adalah dengan disiplin atau membatasi diri berbelanja, khususnya masa-masa pandemik ini. Jika masa karantina Corona ini hanya 14 hari, maka batasi belanja kita, misalnya 50% dari kebutuhan masa karantina. Apalagi pemerintah tidak memberlakukan lockdown secara total. Keluar rumah untuk membeli kebutuhan penting termasuk obat masih diakomodasi jika pembatasan sosial berskala besar dilakukan di daerah kita. 

Perlu diingat, ketika kita membeli secara berlebih, berarti kita sedang membiarkan orang lain kelaparan atau tidak mampu mencukupi kebutuhan pokoknya. Tidak semua warga juga memiliki daya beli yang sama dengan kita. Selain itu, belanja yang berlebih dapat mengakibatkan rush sebagaimana yang telah dijelaskan di atas termasuk kenaikan harga atau angka inflasi.

Ketiga, hindari panic selling atau panic redeeming. Kedua panik ini terjadi dalam aktivitas investasi. Misalnya kita membeli efek, seperti saham, obligasi, reksadana. Namun, karena kita membaca berita tentang Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sedang menurun drastis, tanpa pikir panjang kita langsung menjual atau menarik kembali surat berharga tadi atau produk-produk investasi lainnya. Alasan klasiknya adalah tahun rugi makin banyak, atau entitas di mana kita menginvestasikan uang kita tiba-tiba bangkrut. 

Perlu diingat, jikalau tidak ada kebutuhan mendesak, alangkah baiknya, invetasi kita berorientasi jangka panjang apalagi dalam kondisi ketidakpastian yang tinggi karena Corona. Yakinlah bahwa pandemik ini akan berakhir. Selain itu, ingatlah ada pemerintah dan otoritas terkait sistem keuangan seperti Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) terus melakukan upaya dan terobosan kebijakan agar kondisi sistem keuangan negara ini tetap stabil dann bertumbuh. 

Seperti pepatah yang mengatakan, badai pasti berlalu, takut sekejap itu wajar, tapi panik berkepanjangan itu bahaya. Justru saat tingginya ketidakpastian perekonomian kita, andil kita dalam membantu ibu pertiwi adalah dengan menaruh kepercayaan atas investasi dalam sistem keuangan, dan yakinlah semuanya akan kembali pulih.

Keempat, hindari speculative activities atau aktivitas spekulatif. Aktivitas spekulatif biasanya berorentasi pada upaya untuk memperoleh keuntungan yang cepat. Biasanya keserakahan (greedy) ada dibalik keputusan tersebut. Aktivitas spekulatif memiliki ciri sebagai berikut:

1) keputusan cepat karena mempertimbangkan demand and supply saja;

2) distimulus oleh ketergesa-gesaan karena ikut-ikutan orang/spekulan lain atau isu-isu yang belum dikonfirmasi/tanpa menganalisis mendalam kinerja perusahaan;

3) durasi transaksi harian (singkat);

4) skala nominal besar dalam satu transaksi;

5) fokus pada produk dengan bunga atau imbal hasil serta risiko yang tinggi, seperti saham gorengan, pasar komoditas, perdagangan opsi dan lainnya;

6) sumber dana berasal dari pinjaman;

7) perilaku cenderung agresif. Terjebak dengan investasi illegal merupakan salah satu bentuk speculative activities. Untuk menghindarinya, ingatlah legal dan logis (2L). Legal artinya kita harus memperoleh informasi yang cukup bahwa entitas investasi memiliki izin dari otoritas terkait. Kemudian aspek logis menandakan kita haru jeli melihat kewajaran yang ditawarkan entitas investasi. Jikalau dirasa tidak wajar, maka segera cek aspek legalnya. Aktivitas spekulatif bukan hanya membahayakan stabilitas sistem keuangan, tetapi merugikan diri sendiri di masa depan. Selain itu, aktivitas spekulatif bisa menjadi candu seperti judi.

Kelima, hindari selfish financing atau aktivitas keuangan yang berorientasi pada diri sendiri. Untuk menghindari hal ini, belajar memberi adalah satu obatnya. Memberi berari kita menjaga jarak dari sikap egois atau kikir. Memberi menandakan kita belajar memberikan ruang kepedulian kepada sesama dan lingkungan. Salah satu yang dapat kita dilakukan yaitu menyediakan porsi tertentu dari penghasilan kita untuk menyumbang masyarakat yang tidak mampu hingga tenaga medis yang terdampak Corona. Saat ini memberi dapat melalui berbagai media tanpa harus melakukan tatap muka.

Keenam, hindari bias financial information atau informasi keuangan yang masih belum jelas kebenarannya (bias) termasuk menyebarkannya. Hal ini dapat menstimulus respons yang tidak tepat bahkan berdampak negatif pada psikologi pasar. Belajarlah mengklarifikasi atau mengkonfirmasi satu berita/infomormasi, seperti pepatah "quick to listen, slow to speak", apalagi hendak berbagi informasi di era digital ini. Jangan latah. 

Pastikan kita memperoleh informasi dari entitas/ otoritas berwenang misalnya terkait moneter, makroprudensial dan sistem pembayaran, ada Bank Indonesia (BI), atau terkait mikroprudensial seperti hal-hal terkait perbankan, pasar modal, hingga industri keuangan non bank ada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), terkait stimulus fiskal ada Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan sebagainya.

Ketujuh, hindari unhygienic financial transactions atau transaksi keuangan yang tidak bersih. Aktivitas tersebut mencakup bagaimana kita menciptakan perilaku/ekosistem yang higienis atau bersih saat menggunakan media-media dalam transaksi keuangan sebagai berikut:

  • Membersihkan uang yang bersumber dari kegiatan interaksi langsung, seperti uang kembalian dari pasar atau lainnya. Uang tersebut dapat dibersihkan dengan cara menyiapkan 1 liter cairan yang telah dicampur  alkohol minimal 70% atau disinfektan dalam satu wadah. Cukup direndam selama 5 menit kemudian dikeringkan. Cairan tersebut dapat digunakan berkali-kali;
  • Menggunakan tissue atau alat lain yang sejenis saat menekan tombol pin saat mengambil uang di ATM;
  • Mengikuti prosedur atau protokol yang telah ditetapkan oleh industri jasa keuangan terkait pencegahan penyebaran Corona seperti pengukuran suhu sebelum masuk gedung, cuci tangan atau menggunakan hand sanitizer sebelum dan sesudah bertransaksi,  hingga
  • Mengoptimalkan transaksi non tunai seperti mobile banking, penggunaan sarana pembayaran online dengan QRIS, dan lainnya.

Tujuh perilaku cerdas financial distancing di atas diharapkan dapat membantu menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia. Maka sejatinya bukanlah pemerintah, otoritas atau pelaku usaha terkait sistem keuangan sebagai garda terdepan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, tetapi masyarakat atau dimulai dari diri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun