Berbeda dalam dalam suatu karya ilmiah berjudul: "Akuntabilitas Diri: Quo Vadis? (Sebagai Realitas dari Akuntabilitas Kuantum)", Ridhony (2014) menyatakan bahwa keberadaan akuntabilitas diri sebagai dasar, sebelum memasuki ruang lingkup akuntabilitas yang lebih besar menjadi bagian "signifikan" yang perlu diperhatikan.Â
Dalam tulisan ilmiah tersebut, permulaan akuntabilitas diri seseorang dimulai dari nama. Inilah yang mendasari mengapa setiap orang tua selalu mencoba memberikan nama yang memiliki nama terbaik bagi anak-anaknya. Umumnya dengan alasan kelak anaknya dapat mencerminkan nilai-nilai mulai dalam nama tersebut.
Penamaan ibu kota negara tentu tidak boleh sembrono atau sembarangan karena menyangkut harapan dan doa termasuk reputasi negara ini. Penamaan negara ini setidaknya memenuhi tujuh kriteria, yaitu 1) Memiliki makna mulia/positif; 2) Tidak memiliki pertentangan makna/makna negatif/ambigu dengan Bahasa daerah lain di seluruh Indonesia; 3) Menggunakan Bahasa Indonesia; 4) Berelasi dengan sejarah negeri; 5) Bermuatan budaya nasional dan/atau lokal; 6) Satu penyebutan utuh dan/atau mudah diingat;, dan 7) Hasil buah karya anak bangsa sendiri.
Nama-nama seperti Nusantara (nama yang digadang-gadang cocok jadi nama negara kita), Tunggalika, Unggul, Nuraga, Pancarona, Suta (Singkatan Sukarno dan Hatta), Wiyata, Abhati, dan sebagainya mungkin bisa menjadi alternatif pilihan.
Atau biar lebih keren lagi, perlu ada sayembara ke seantero negeri untuk mencari ide-ide brilian anak-anak bangsa sehingga memperkuat rasa memiliki atas ibu kota negara yang baru kelak.
Selamat berjuang mengeksekusi kebijakan ini, Bapak Presiden!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI