Bulan Agustus tahun ini adalah bulan keramat yang menjadi satu titik sejarah keberanian pemerintah mengambil satu keputusan "maha besar" dan non popular, yaitu, memindahkan ibu kota negara. Keputusan ini tentu tidak lepas dari kajian-kajian komprehensif yang dilakukan pemerintah.Â
Menurut Menteri PPN/Kepala Bappenas, Prof. Bambang Brojonogoro, ada 7 syarat yang harus dipenuhi, antara lain:Â
1) Lokasi strategis, secara geografis beradi di tengah wilayah Indonesia;
2) Tersedia lahan luas milik pemerintah/BUMN perkebunan dan atau kehutanan (hutan produksi) untuk mengurangi biaya investasi;
3) Bebas dari bencana gempa bumi dan gunung berapi, tsunami, banjir, erosi, serta kebakaran hutan dan lahan gambut;
4) Tersedia sumber daya air yang cukup dan bebas pencemaran lingkungan, dekat dengan kota existing yang sudah berkembang untuk efisiensi investasi awal infrastruktur, meliputi akses mobilitas/logistic seperti bandara, pelabuhan, dan jalan;
5) Ketersediaan pelabuhan laut dalam yang sangat penting untuk mewujudkan Indonesia sebagai Negara maritim melalui konektivitas tol laut antar pulau;
6) Tingkat layanan air minum, sanitasi, listrik, dan jarongan komunikasi yang memadai untuk dikembangkan; dan,
7) Potensi konflik sosial rendah dan memiliki budaya terbuka terhadap pendatang, memenuhi parameter pertahanan dan kemanan.
Tanggal 16 Agustus 2019, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, mengumumkan secara resmi rencana pemindahan ibu kota negara di Kalimantan pada pidato kenegaraan yang akan disampaikan di Sidang tahunan MPR.
Kemudian, tanggal 26 Agustus 2019 menjadi hari bersejarah, kepastian pengganti Jakarta secara spesifik diumumkan pada sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanaegara Provinsi Kalimantan Timur. Ibu kota ini belum bernama.