Mohon tunggu...
Ridhony Hutasoit
Ridhony Hutasoit Mohon Tunggu... Auditor - Abdi Negara

Aku ini bukan siapa-siapa, hanya terus berjuang meninggalkan jejak-jejak mulia dalam sejarah peradaban manusia, sebelum kelak diminta pertanggungjawaban dalam kekekalan.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Ceruk Inklusi Keuangan Indonesia

20 Agustus 2019   09:49 Diperbarui: 20 Agustus 2019   10:16 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah Republik Indonesia menargetkan tingkat inklusi keuangan pada titik 75%  tahun ini. Berdasarkan Survei Nasional Literasi Dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2013 dan 2016,  Indeks Inklusi Keuangan (IIK) tahun 2013 secara nasional mencapai 59,7%, kemudian meningkat pada tahun 2016 menjadi 67,82%. 

Peningkatan IIK hingga tahun 2016 sebesar 8,12%  menjadi penanda optimis jika trend peningkatan konsisten dipertahankan hingga tahun 2019. Namun demikian, berdasarkan data Global Findex 2017, indeks inklusi keuangan Indonesia baru mencapai 48,9%, sehingga masih terdapat selisih 26,1% atau diperlukan sekitar 54 juta rekening baru untuk mencapai target 75% pada tahun 2019. 

Perbedaan penilaian indeks inklusi ini disinyalir disebabkan perbedaan ruang lingkup produk dan layanan sektor jasa keuangan, misalnya Global Findex hanya menjadikan akses pada tabungan sebagai alat ukur, sedangkan SNLIK bukan hanya menjadikan kepemilikan buku tabungan sebagai alat ukur, kepemilikan polish hingga perikatan pembiayaan menjadi alat ukur pengukuran inklusi keuangan.

Namun pertanyaannya, apakah inklusi keuangan hanya sebatas akses pada sektor jasa keuangan? Atau jikalau dielaborasi kembali, bagaimana sisa masyarakat yang belum terakses sektor jasa keuangan?

Berdasarkan hasil wawancara kepada masyarakat yang dilakukan pada tanggal 24 Juni 2019 di sekitar daerah Cikini-Jakarta, diperoleh fakta bahwa masih ada masyarakat yang terakses pada sektor informal jasa keuangan. 

Wawancara ini merupakan bagian dari kelas Pre-Course Short Term Award dari Australia Award Scholarship yang dibina oleh Professor Edward Buckingham (Prof. Edo). Seorang Ibu berumur hampir 70 tahun telah lama tinggal di Pasar di belakang Cikini Gold Center menceritakan bahwa dirinya salah satu pengguna produk jasa keuangan informal. 

Bentuk produk ini berupa pinjaman yang disalurkan oleh perseorangan. Besar pinjaman anatara Rp1 juta sampai dengan Rp5 juta. Dana pinjaman tersebut tidak diberikan 100% karena dipotong terlebih dahulu oleh biaya administrasi sebesar Rp100 ribu-Rp300 ribu. Pinjaman tersebut dapat dicicil per hari atau perbulan sesuai kesepakatan. Asumsi bunga yang dikenakan berkisar 20-35%. Sangat tinggi. Dia menyebutnya sebagai "Bank Keliling" (BK) sebagai pengganti kata rentenir.

Hal yang menarik ketika melakukan wawancara adalah ketika mengobservasi respons mimik dan gesture tubuh. Saat wawancara dilakukan, kebetulan seorang BK lewat di depan kami. Tiba-tiba suara Ibu ini mengecil dan matanya memberi kode untuk memberi jeda wawancara. Setelah BK itu agak menjauh, Ibu tadi kembali melanjutkan cerita. Saat itu, metode Blink, Malcolm coba diterapkan dan mendapat asumsi sementara bahwa BK memiliki pengaruh kuat dalam keberlanjutan pemberian pinjaman. 

Pengaruh kuat ini disebabkan dua hal, kemudahan akses dan keterikatan relasi. Kemudahan akses diperoleh melalui ketersedian dana dengan segera (cepat) dan "jemput bola" yang dilakukan BK, sedangkan keterikatan relasi terjadi karena interaksi yang terjadi secara berkesinambungan melalui pinjaman. 

Bagi Ibu ini, kehadiran BK berkontribusi dalam kemajuan usahanya. Belum lagi, perjumpaan hari demi hari memperkuat ikatan antara si Peminjam dan Pemberi Pinjaman. Dia merasa terbantu dengan kehadiran BK, walaupun sadar bunga yang ditawarkan tinggi. 

Pinjaman sebagai suatu bantuan dan layanan membentuk ikatan "utang budi" sebagai pengikat. Inilah yang menjadi alasan Ibu yang telah memiliki banyak cucu ini tidak memilih pembiayaan sektor formal. Hal ini senada dengan pendapat Prof. Edo bahwa salah satu faktor signifikan yang menyebabkan rentenir terus hidup di Indonesia ada utang budi.

Pada aspek lain, peranan Ibu tadi sangat signifikan dalam keluarga. Baik dalam hal pembinaan anak-anak, mulai dari hal pemenuhan kebutuhan/ekonomi, jodoh, hingga keputusan terkait pendidikan apalagi ketika Sang Suami telah tiada. Hal ini memandakan peran perempuan sangat signifikan dalam kemajuan suatu keluarga. 

Hal ini diperkuat dari survei sederhana kepada 12 responden di mana 83,33% responden menyatakan bahwa Ibu memiliki peran penting dalam kemajuan keluarga. Kedekatan secara emosi dan dominasi keputusan dalam hal keuangan sangat tampak dalam penjelasan mayoritas responden tadi sebagai penyebab peran penting seorang ibu. 

Dalam pengamatan selama wawancara dan observasi, kapasitas/tingkat literasi seorang Ibu memiliki pengaruh terhadap perilaku keuangan termasuk pengambilan keputusan terkait keuangan keluarga.

Berdasarkan data SNLIK (2016), dari tahun ke tahun, Indeks Literasi Keuangan (ILK) mengalami peningkatan namun belum signifikan jikalau dibandingkan dengan pencapaian IIK. Pada tahun 2013, ILK mencapai 21,8% menjadi 29,66% pada tahun 2016. Hal ini menimbukan kondisi unbalancing antara kedua indeks yang dapat memengeruhi rentang dampak dari sektor jasa keuangan. 

Misalnya, per tahun 2016 tadi, gap antara tingkat inklusi dengan literasi sebesar 38,16%. Artinya, sebanyak 38,16% penduduk Indonesia dewasa yang telah terakses dengan produk dan/atau industri jasa keuangan  berada pada pemahaman yang minim atas produk/jasa industri jasa keuangan yang digunakan. 

Hal ini diperkuat data SNLIK (2016) yang menyatakan bahwa hanya 36,02% masyarakat menyatakan memiliki kemampauan menghitung bunga, angsuran, hasil invenstasi, biaya penggunaan produk, denda, dan inflasi. Pada sisi sikap keuangan, 66.79% masyarakat hanya memiliki tujuan keuangan jangka pendek yaitu untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dan bertahan hidup.

Kondisi di atas membawa pada satu hipotesis bahwa kualitas inkluasi keuangan tidak bisa lepas dari sejauh mana masyarakat dapat paham produk/layanan jasa keuangan hingga mampu menggunakannya dalam rangka memberikan nilai tambah bagi kesejahteraan diri. 

Ceruk inklusi keuangan tidak hanya membawa pemahaman pembuat kebijakan bukan hanya merancang solusi percepatan literasi tetapi juga kualitas konten literasi. 

Kualitas konten literasi yang membawa masyarakat bukan hanya paham produk dan layanan sektor jasa keuangan, namun mampu menggunakan produk dan layanan jasa keuangan tadi untuk meningkatkan kesejahteraan diri dalam jangka panjang. 

Elaborasi ceruk inklusi keuangan ini makin tampak ketika perempuan belum optimal untuk menjadi prioritas. Di sisi lain, Indonesia memiliki tantangan terkait kondisi geografis.

Pada aspek regulasi, sejatinya pemerintah dan OJK telah mengeluarkan regulasi dalam mendorong pencapaian IIK dan ILK, seperti dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif, Perpres Nomor 50 Tahun 2017 tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen, Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 30/SEOJK.07/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan dalam Rangka Meningkatkan Literasi Keuangan di Sektor Jasa Keuangan, hingga Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/SEOJK.07/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan dalam Rangka Meningkatkan Inklusi Keuangan di Sektor Jasa Keuangan. Namun tantangannya, implementasi peraturan tersebut belum disinkronkan dalam kebijakan pemerintah daerah. Hal ini terlihat dari belumnya IIK dan ILK masuk dalam perencanaan strategis, seperti RPJMD, Renstra, atau Renja. Maka muncul hipotesis kedua bahwa inklusi keuangan belum optimal dikarenakan belum harmonisnya kebijakan pusat dan daerah.

Oleh sebab itu, untuk mengantisipasi ceruk inklusi keuangan tersebut, Pemerintah dapat menginisiasi untuk meningkatkan kualitas inklusi dan literasi dengan berkolaborasi dengan program-program pendidikan, pemberdayaan masyarakat, hingga teknologi informasi khususnya bagi Perempuan. Untuk program pendidikan, Pemerintah dapat menginternalisasikan pemahaman produk dan layanan jasa keuangan dalam pendidikan formal dan non formal. Jangkauan kepada pendidikan non formal dapat dilakukan melalui komunitas-komunitas pendidikan di berbagai daerah. Untuk program pemberdayaan masayarakat, Pemerintah dapat meningkatkan kualitas penyaluran bantuan kepada masyarakat khususnya terkait dana bergulir dan dana desa. Peningkatan kualitas dana bantuan ini  dapat dilakukan dengan bersinergi dengan produk/layanan sektor jasa keuangan seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), pembiayaan Usaha Mikro (UMi), pembiayaan Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera (Mekaar),  Asuransi Usaha Tanam Padi, dan sebagainya. Kemudian, terkait pengunaan teknologi infromasi, pemerintah dapat menggandeng perusahaan Financial Technology (Fintech) dalam rangka dukungan modal dan pembiayaan. Misalnya, optimalisasi Fintech lending yang telah terdaftar dan berizin OJK yang fokus bergerak dibidang tertentu seperti UMKM, Pertanian, dan sebagainya. Selain itu, perlu ada harmonisasi peraturan pemerintah pusat dan daerah dalam rangka mendorong literasi dan inklusi keuangan. Langkah awal tentu dengan meletakkan IIK dan ILK pada RPJMN yang sedang disusun oleh Presiden Baru. Kemudian diikuti dengan arahan Kementerian dalam negeri untuk melakukan sinkronisasi target IIK dan ILK pada semua perencanaan strategis Pemerintah Daerah. Sinkronisasi ini dapat melibatkan OJK selaku regulator sektor jasa keuangan serta Kementerian/Lembaga terkait lainnya.

Sekedar informasi, artikel ini ditulis berdasarkan pengalaman di daerah dan materi yang didapat dalam kelas persiapan beasiswa singkat dari Australian Award in Indonesia (Pemerintah Australia). Menerima beasiswa ini adalah kebanggaan tersendiri. Beasiswa short course ini bertema "Developing Financial Regulators' Leadership Skills to Promote Women's Financial Inclusion Short Term Award" yang akan dilaksanakan pada 2-13 September 2019 di negeri Kangguru. Beasiswa singkat ini diperuntukan bagi para manajer dan pemimpin berkinerja tinggi di bidang pengelolaan keuangan yang berkeinginan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan terkait inklusi keuangan kepada beberapa targeted ministries and agencies. Dalam kelas persiapan ini, Prof. Edo memantang setiap peserta untuk dapat membandingkan kondisi inklusi keuangan dengan Negara asalnya, Australia. Tujuan program beasiswa ini luar biasa. Selain sebagai media pembelajaran antar Negara, akan tetapi media untuk setiap peserta dari berbagai latar belakang dan instansi dapat berkolaborasi dalam menemukan inovasi atau solusi permasalahan terkait inklusi keuangan bagi Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun