Jalan-jalan ke luar negeri dan duduk bersama pemimpin negeri lain misalnnya. Urusan kali pun tak mampu ditangani dengan elok, bahkan berani berkelit itu salahnya Gubernur dulu. Atau sempat menyalahkan pemerintah pusat terkait suatu proyek, seolah-olah dirinya korban diasingkan karena terpilih.Â
Dan kembali lagi, kata-kata manis dan elok santunnya tetap menjadi kekuatan untuk menarik simpati walau untuk berkelit. Entah, apa hanya saya yang lama-lama gemas merana melihat sepak terjangnya? atau apa hanya saya yang hanya geleng-geleng kepalanya ketika dia makin ketahuan tidak paham tentang permasalahan daerah yang dipimpinnya?
Namun, akhirnya saya tetap mensyukuri.
Saya yakin dia tetap baik, karena setiap orang punya nurani. Masa pengabdiannya masih panjang. Saya kembali berdoa agar dirinya punya sikap dan kembali kepada panggilan sejati untuk membangun ibu pertiwi. Dan ingatlah, wahai Bumi, satu pembelajaran berarti, bahwa, salah memilih pemimpin ternyata mengandung konsekuensi besar bagi pembangunan dan peradaban negeri, dan, di sisi lain, rasa kagum menjadi  intropeksi keras tersendiri, karena waktu jualah yang akan menguji suatu konsistensi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H