Alkisah, ada sosok yang dulu begitu aku kagumi di suatu negeri. Seorang pendidik cerdas yang visioner. Buktinya dia mampu menghadirkan program pendidikan yang menginspirasi negeri itu dan berdampak hingga pelosok-pelosok tanah air. Dia begitu piawai mengemas program itu sehingga banyak sukarelawan yang ikut mendonasikan dana dan dirinya demi mencerdaskan rakyat dari kota hingga desa.Â
Namanya makin tersohor, ketika gerakan program itu makin membahana yang bersamaan ketika dirinya menjabat sebagai maha guru di suatu perguruan tinggi. Puncak ketenarannya ketika dipilih menjadi salah seorang juru kampanye kandidat presiden yang dicinta rakyat.Â
Saya begitu ingat, sepak terjangnya sebagai juru kampanye begitu hebat. Kemampuan pemilihan diksi, walau tanpa perlu berapi-api, sangat kuat menghipnotis setiap pendengar termasuk membabat habis semua opini lawan politiknya. Memang cara santun menjadi aura tersendiri yang melekat pada gesture kata dan tubuhnya. Ide-idenya yang begitu kuat pada pondasi pembangunan manusia, membuatku berdoa agar kelak dia menjadi Menteri Pendidikan, jika calon presiden yang didukungnya ini terpilih. Itulah mengapa saya dulu bangga mengkutip pernyataanya, baik dalam tulisan, maupun ketika saya menjadi pembicara. Dan benar saja, dia terpilih menjadi menteri pada kementerian tersebut.
Waktu bergulir, sepak terjangnya di kementerian itu berhenti di tengah jalan. Penyebabnya adalah lembatnya eksekusi kebijakan strategis, sehingga perbagai masalah pendidikan tidak dapat segera ditanggani. Sebagai menteri pun ternyata dia punya nyali melabrak instruksi Sang Pemimpin Negeri. Mungkin, dia mengira bahwa jasa politiknya yang itu membuat kecut Sang Presiden sehingga tidak tega menindak dirinya.Â
Sayang seribu naas, dia diberhentikan, namun tetap dengan sopan. Sampai dengan titik ini, saya sangat menyayangkan kejadian tersebut namun salut dengan ketegasan Sang Presiden, walau bayang-bayang dirinya masih membekas sebagai sosok yang saya kagumi.
Namun, kekaguman itu saya sesali.
Titik penyesalan mencapai puncak ketika, dia yang seorang cendikiawan dan pendidik, menghalalkan segala cara untuk menjadi Gubernur di sebuah Ibu Kota. Saat proses kampanye dirinya, saya melihat bagaimana seorang memiliki dua sisi yang berbeda. Lihat saja pernyataan-pernyataan dirinya saat mendukung sang Presiden, dan ketika dirinya diusung menjadi seorang Gubernur oleh lawan politik yang sama seperti dulu.Â
Sentimen SARA pun tidak sungkan dia biarkan bergulir untuk untuk menjatuhkan lawannya. Dia memang menang, bahkan mencoba kembali mendekap kaum minoritas dengan berbagai fasilitas dan kehadiran dirinya dalam berbagai acara, namun dia lupa sudah menjejakkan bekas luka bagi banyak orang, termasuk saya.
Saya makin melihat dirinya tidak lagi berambisi mewujudkan nilai dan ideologi atas kemuliaan nuraninya, tapi kekuasaan belaka. Mungkin dia pernah sakit hati dijegal, sehingga ingin membalas, saya tidak tahu. Tapi yang jelas, dirinya makin terjerat oleh lumpur hisap politik. Bukankah dia harus membalas jasa dan mengembalikan modal (dengan "bunga"nya) untuk semua orang yang telah berupaya dengan berbagai cara memenangkan dirinya itu?
Maka makin kini, saya makin miris.
Daerah yang dipimpinnya mulai berantakan. Harga diri negara mulai dipertaruhkan di ajang kompetisi internasional, dengan kebijakan "kata manis" dalam rangka menghargai rakyat kecil. Dia mulai gamang untuk fokus mengabdi, mungkin karena posisi tawarnya menjadi calon presiden atau wakil presiden meningkat sehingga sedang mempersiapkan amunisi.Â