Pagi ini, staf saya bercerita kalau dirinya ke depan akan datang lebih pagi karena anak-anaknya sudah masuk sekolah. Berangkat dari rumah sejak pukul 06.30 dikarenakan kelas sudah mulai pukul 07.00 WITA. Kedua anaknya, baik Kakak maupun Adiknya bersamaan menempuh sekolah dasar kelas satu. Hal ini dikarenakan perubahan kebijakan mengenai batasan umur untuk masuk sekolah dasar.Â
Setelah kami berbincang, tiba-tiba saya mengingat bagaimana pertama kali masuk sekolah. Kuat dalam ingatan saya, pertama kali masuk sekolah formal, suara tangisan menggema seantero kelas. Lucunya, saat itu saya hanya mengkerutkan dahi melihat kawan seumuran saya menangis begitu rupa, kemudian saya lebih tertarik mengambil mainan yang ada di tengan meja saya, dan begitu semangat menunggu kelas di mulai.
Tidak sedikit anak takut untuk bersekolah. Mereka merasa akan sendirian karena ditinggal oleh mama-papanya, termasuk suasana asing dan orang asing mengitari mereka. Lantas, mengapa saat itu saya tidak takut? Saya mencoba menarik ingatan masa lampau dan menemukan beberapa hal yang membuat saya semangat sekolah:
Pertama, saya suka berpetualang. Kesukaan ini muncul mama saya suka mengajak saya pergi ke pasar. Â Saya ingat, setiap lewat "jongko" pedagang, mama saya bukan hanya memilih bahan makanan yang hendak di beli, namun, Beliau menyempatkan diri ngobrol dengan pedagang tersebut. Walaupun Batak murni, mama saya sangat fasih berbahasa sunda, sehingga inilah yang menyebabkan komunikasi tersebut berjalan dengan lancar, berkesan hangat, serta tidak jarang ada bumbu canda. Selain itu, tentu para pedagang akan menanyakan siapa saya, dan bahkan berkenalan. Saya ingat, becandaan andalan mama saya dengan orang-orang di pasar adalah ketika mereka menanyakan:
"Ati, kok meni kasep budak maneh?" (Ati, kok ganteng sekali anakmu?),
maka mama saya pasti akan menjawab:
" Heeuh atuh, da mama na oge geulis jiga Lidya Kandau" (Ya iyalah, mamanya aja cantik kayak Lidya Kandau). Â
Kesan itu membentuk persepsi bahwa dunia luar adalah hal yang aman untuk saya telusuri. Zaman now, tidak sedikit orang tua membuat kesan dunia luar menjadi hal yang menakutkan. Caranya dengan membiarkan anak asyik bermain gadget, sehingga di rumah melulu. Jadi, anak bersemangat bersekolah, karena anak kenal bahwa dunia luar aman.
Kedua, saya suka beli buku. Kesukaan ini muncul ketika papa saya membuat suatu budaya beli buku bersama sebelum sekolah di mulai. Seolah-olah buku adalah hadiah. Maka jangan heran, waktu kecil, buku adalah harta karun, apalagi melihat motif, warna, wangi khasnya, dan yang paling saya suka ketebalannya. Makin tebal suatu buku baru, makin lama saya pegang, dan saya akan melihat papa dengan penuh makna dan mohon belas kasihan untuk membeli buku-buku tersebut.Â
Hingga dulu, entah dari mana saya terinspirasi, saya membuat permainan "bank-bank", di mana kertas dari buku tulis yang telah terpakai dijadikan uang/alat tukar. Jadi, anak semangat sekolah, Â karena sekolah adalah bentuk apresiasi orang tua kepada anak.
Ketiga, saya rajin minum susu. Sebelum berangkat sekolah, mama saya selalu menyiapkan sarapan dan bekal. Dan yang tidak pernah akan ketinggalan adalah segelas susu. Artinya, mama saya bangun lebih pagi mempersiapkan segala sesuatu untuk kami bersekolah. Jadi, anak semangat sekolah, karena sekolah adalah hal yang spesial.