Mohon tunggu...
Ridhwan NafiMaula
Ridhwan NafiMaula Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

P balap

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pernikahan Wanita Hamil

28 Februari 2024   18:50 Diperbarui: 28 Februari 2024   19:07 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pernikahan wanita hamil bisa disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk keinginan untuk menjaga hubungan yang sudah ada sebelumnya, faktor budaya atau agama, atau bahkan tekanan sosial dari keluarga atau masyarakat. 

Faktor lain yang dapat menyebabkan perkawinan wanita hamil yaitu faktor keluarga yakni kurangnya pengawasan dari keluarga, lingkungan sekolah dan masyarakat, karena pengaruh pergaulan yang bebas. Beberapa juga mungkin memilih untuk menikah karena ingin memberikan kepastian hukum bagi anak yang akan dilahirkan.

Beberapa argumentasi dari beberapa ulama yang menyangkut masalah ini diantaranya yaitu. Yang pertama ada pendapat dari Imam Ahmad bin Hanbal yang menyatakan bahwa tidak boleh melangsungkan pernikahan antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki sampai ia melahirkan kandungannya. Kedua, Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa menikahi wanita hamil karena zina dibolehkan bagi yang telah menghamilinya maupun bagi orang lain. 

Hal ini diqiyaskan (dianalogi) dengan, “Kalau satu orang mencuri buah dari satu pohon, ketika itu haram. Kemudian dia beli pohon itu, maka apakah buahnya tadi masih haram atau sudah halal? Itu sudah halal. Tadinya haram kemudian menikah baik-baik maka menjadi halal”. Tapi agar tidak salah paham. Apakah dia terbebas dari dosa berzina ataukah dia terbebas dari murka Tuhan? Tentu tidak. Itu tadi dari segi hukum. Dalam pandangan madzhab ini, wanita yang zina itu tidak mempunyai iddah. 

Adapun jika melangsungkan pernikahan, maka nikahnya tetap sah. Pendapat yang ketiga dari Malikiyyah, tidak sah perkawinannya kecuali dengan laki-laki yang menghamilinya dan ini harus memenuhi syarat, yaitu harus taubat terlebih dahulu. Pendapat yang keempat dari Madzhab Hanafiyyah masih terdapat perbedaan pendaan pendapat, di antaranya :

1.    Pernikahan tetap sah , baik dengan laki-laki yang menghamili atau tidak.
2.    Pernikahan sah dengan syarat harus dengan laki-laki yang menghamili, dan tidak boleh di kumpuli kecuali sudah melahirkan.
3.    Boleh nikah dengan orang lain asal sudah melahirkan.
4.    Boleh nikah asal sudah melewati masa haid dan suci, dan ketika sudah menikah maka tidak boleh dikumpuli kecuali sudah melewati masa istibro (masa menunggu bagi seorang wanita setelah mengandung).

Dalam tinjauan sosiologis yang mana pelaku dalam kasus pernikahan wanita hamil terjadi pada kalangan remaja yang mana pada masa itu terjadilah transisi yang penuh gejolak dan terjadi perubahan secara fisik maupun sikis. Perubahan fisik yaitu organ tubuh seperti alat reproduksi atau organ seksual dan jaringan syaraf mulai berfungsi. 

Sedangkan perubahan pada sikis yaitu pada perkembangan emosional yaitu menyukai lawan jenis dan melepaskan diri dari kendali orang tua. Padafase-fase inilah sanggat penting bagi hidup manusia. Dorongan-dorongan seksual pada fase ini mulai muncul, maka jika tidak dikendalikan akan terjadi penyimpangan seksual pada remaja yang melibatkan adanya kasus tersebut.

Dalam peninjauan religious mayoritas para ulama membolehkan pernikahan wanita yang sedang hamil akibat perzinaan dengan laki-laki yang telah menghamilinya. Namun pendapat para ulama yang rajih (kuat) disyaratkan kepada calon pengantin untuk bertobat dari dosa besar yang telah dilakukannya.

Dalam tinjauan yuridis dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak diatur negenai persoalan perkawinan wanita hamil diluar pernikahan. Artinnya bahwa apabila dalam satu pernikahan sudah terpenuhi rukun dan syarat dalam hukum agama, maka perkawinan tersebut dianggap sah.

Dapat mengikuti panduan berikut untuk membangun keluarga yang sesuai dengan regulasi dan hukum agama Islam:  
1.Menjaga komunikasi yang baik. Komunikasi yang jujur dan terbuka antara pasangan sangat penting dalam Islam.
2.Memahami kewajiban dan hak. Memahami kewajiban dan hak masing-masing pasangan dalam Islam akan membantu membangun hubungan yang seimbang.
3.Menjaga kebersihan dan kesehatan. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan rumah merupakan ajaran Islam yang penting.
4.Menghormati orang tua. Menghormati dan merawat orang tua adalah nilai yang sangat dijunjung tinggi dalam Islam.
5.Mengelola keuangan dengan bijak. Mengelola keuangan keluarga dengan bijak sesuai dengan prinsip syariah akan memberikan keberkahan.
6.Mendidik anak dengan baik. Mendidik anak-anak sesuai dengan ajaran Islam adalah tanggung jawab utama pasangan suami istri.
Dengan mengikuti panduan ini, generasi muda atau pasangan muda dapat membangun keluarga yang harmonis sesuai dengan regulasi dan hukum agama Islam.

Ridhwan Nafi' Maula Nashrullah/222121125
Rizki dewi rahmawati/222121153
Dina Uswatun Hasanah 222121138
Luthvia Yuhand/222121149

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun