Mohon tunggu...
Ridho Naufal hidayat
Ridho Naufal hidayat Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Seorang mahasiswa hukum yang memiliki ketertarikan dengan topik seperti sejarah, sosial, dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penyerangan Terhadap Hakim: Perbuatan Terencana atau Luapan Emosi Sesaat?

14 September 2024   12:51 Diperbarui: 14 September 2024   12:54 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persidangan sering kali memberikan rasa takut atau cemas bagi para pihak yang terlibat di dalamnya, terutama bagi pihak tertuntut. Oleh karena itu, tidak jarang para pihak yang terlibat dalam suatu persidangan menjadi tegang ketika menunggu putusan hakim. Sayangnya, terdapat beberapa pihak yang menyikapi putusan hakim dengan cara yang salah. Ada yang meluapkan emosinya dengan menyerang hakim menggunakan sepatu, ikat pinggang, dan lain-lain.

Pada tahun 2019, ada pengacara yang memukul hakim dengan ikat pinggang yang ia kenakan karena merasa tidak puas dengan putusan hakim. Tindakan ini tentu sudah melanggar kode etik advokat dan tata tertib pengadilan, dan peraturan seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 212 tentang Kekerasan Terhadap Pejabat Negara. Akibat perbuatannya, pengacara tersebut dituntut dengan hukuman pidana penjara selama 8 bulan (Kumparan, Desember 2019). 

Dalam contoh kasus lain, terdapat terdakwa yang secara tiba-tiba menyerang hakim setelah hakim membaca vonis yang terdakwa tersebut terima. Seperti kasus sebelumnya, terdakwa tidak melakukan persiapan apa-apa untuk melakukan serangan tersebut melainkan ia dengan tiba-tiba berjalan ke meja hakim dan mencoba memukul hakim dan merusak beberapa properti pengadilan (Detik, Agustus 2021). Dua kasus diatas memiliki beberapa persamaan, yaitu tindakan tersebut terlihat seperti reaksi cepat oleh pelaku atas putusan hakim dibanding tindakan yang sudah terencana sebelumnya.

Tentu menjadi pertanyaan bagi kita semua, bagaimana bisa lembaga pengadilan yang dikenal dengan marwahnya yang begitu sakral, justru semakin sering mengalami peristiwa seperti ini? Jika ditinjau dari sisi sosiologis, kita mengetahui bahwa kepuasan masyarakat akan instansi pemerintah seperti pengadilan dan kejaksaan, sedang mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh faktor seperti pengalaman masyarakat itu sendiri ketika sedang melalui proses penyidikan oleh kejaksaan hingga proses persidangan di pengadilan. 

Walaupun pengadilan menganut asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya murah, fakta lapangannya justru mengatakan hal yang sebaliknya. Maka dari itu, masyarakat yang telah melalui proses pengadilan yang panjang dan melelahkan, besar kemungkinan akan menjadi lebih emosional ketika menerima putusan hakim. Belum lagi jika putusan hakim tersebut tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. 

Menanggapi isu ini, Komisi Yudisial selaku lembaga negara yang mencakup bidang yudisial, telah menetapkan Peraturan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Advokasi Hakim. Peraturan ini merupakan dasar yuridis bagi hakim-hakim yang mengalami kejadian penyerangan seperti contoh kasus diatas. 

Dalam pasal 1 angka 1 peraturan ini, diatur terkait advokasi hakim yang merupakan suatu kegiatan dalam rangka mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Namun, langkah yang diambil oleh Komisi Yudisial ini belum dapat mengurangi peristiwa penyerangan terhadap hakim. Hal ini terbukti dimana jumlah peristiwa penyerangan terhadap hakim tidak mengalami penurunan yang signifikan. 

Penyebab tidak berkurangnya peristiwa penyerangan hakim ini, dapat ditarik kembali dari faktor sosiologis yang telah penulis ungkit sebelumnya. Masyarakat tidak memiliki rasa percaya terhadap instansi pemerintah, khususnya lembaga hukum, tapi lebih kepada rasa takut. Maka dari itu, wajar jika masyarakat merasa kecewa jika terdapat langkah yang diambil oleh instansi tersebut yang dirasa tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. 

Maka dari itu, selain dasar yuridis yang telah ditetapkan oleh Komisi Yudisial, perlu ada suatu pemulihan citra instansi pemerintah, dalam hal ini lembaga hukum seperti pengadilan dan kejaksaan. Pemulihan citra yang dimaksud adalah, mengubah citra instansi pemerintah tersebut menjadi instansi yang mengayomi masyarakat. Selain itu, harus ada sosialisasi terkait advokasi hakim ini kepada masyarakat, agar masyarakat mengetahui konsekuensi yang akan diterima jika mereka melakukan tindakan penyerangan terhadpa hakim.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun