Mohon tunggu...
Rizky Ridho Pratomo
Rizky Ridho Pratomo Mohon Tunggu... Relawan - Menulis untuk mengeskpresikan apa yang tidak bisa diungkap dengan kata-kata

Seorang overthinking yang membangkitkan kembali hasrat menulis untuk diri sendiri dan orang lain, bukan karena pekerjaan maupun tuntutan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indonesia Punya Posisi Tawar di Konflik Laut China Selatan

26 Mei 2024   14:50 Diperbarui: 26 Mei 2024   14:52 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Presiden terpilih Prabowo Subianto akan menghadapi situasi yang pelik soal isu Laut Cina Selatan. Mengutip South China Morning Post, Luo Yongkun, wakil direktur Studi Asia Tenggara dan Oseania di Institut Hubungan Internasional Kontemporer Tiongkok, merangkum problematika ini dengan kalimat yang tepat, "Whether Jakarta can maintain its friendship with Beijing amid dramatic geopolitical changes will require superb political wisdom." Pernyataan ini memang tepat apabila menggambarkan hubungan Cina dengan Indonesia.

Posisi Indonesia sebenarnya cukup dilematis untuk menyikapi agresi Cina. Di satu sisi, China menjadi salah satu negara investor terbesar bagi Indonesia. Menurut laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal Asing 2023, investasi China di Indonesia sebesar 7,4 milliar dollar, satu peringkat di bawah Singapura. Akan tetapi, di sisi lain, penetrasi China di perairan Natuna membuat Indonesia harus mengambil sikap tegas, terlebih ini merupakan soal kedaulatan negara.

Indonesia telah beberapa kali menunjukkan sikap tegasnya terhadap isu ini. Pada tahun 2023, Indonesia -- bersama beberapa negara di kawasan Asia Tenggara -- menggelar latihan militer pertama selama lima hari. Menurut panglima TNI Yudo Margono, latihan militer ini bertujuan untuk meningkatkan hubungan militer antar negara ASEAN. Meski begitu, menurut penulis, ada dua pesan tersirat dari latihan militer ini. Pertama, pemerintah Indonesia bisa bersikap tegas jika diperlukan. Kedua, menunjukkan kepada China bahwa kapasitas militer negara di Asia Tenggara tidak bisa dianggap remeh.

Kemudian, beberapa waktu lalu, presiden terpilih Prabowo Subianto berkunjung ke China. Ketua Umum partai Gerindra tersebut bertemu dengan banyak pejabat tertinggi pemerintah China, termasuk presiden Xi Jinping. Dalam kunjungan tersebut, ada satu pernyataan menarik dari Prabowo, dikutip dari Japan Times, "Regarding defense cooperation, I view China as one of the key partners in ensuring regional peace and stability."

Pernyataan ini menunjukkan bahwa dalam Indonesia belum akan bermain konfrontratif terhadap China. Indonesia akan menggunakan pendekatan diplomatis ketika menanggapi sikap China di perairan Natuna. Pendekatan ini memang menjadi ciri khas Indonesia, di mana Indonesia berusaha merangkul semua negara, dan bekerja sama untuk memastikan kawasan Asia Tenggara -- dan Indo-Pasifik secara luas -- damai dan harmonis.

Laut China Selatan merupakan bagian dari kawasan Indo-Pasifik, yang menjadi lokus geopolitik antara dua kekuatan global, AS dan China. AS berusaha untuk menciptakan kawasan yang "bebas dan terbuka." Berlawanan dengan itu, China membuat peta geopolitiknya sendiri, yaitu ten-dashed line, di mana Laut China Selatan merupakan bagian China. Kemungkinannya, perseteruan AS dan China ini akan terus berlangsung, yang mana bisa menggoncang stabilitas kawasan lebih jauh.

Ketidakstabilan ini yang tidak diinginkan Indonesia. Di wilayah Asia Tenggara sendiri, situasinya juga masih belum stabil. Masalah Myanmar juga belum menunjukkan titik terang. Selain itu, Filipina, salah satu claimant state, telah mengambil langkah mandiri dengan melakukan patroli gabungan bersama Australia, Jepang, dan AS di Laut China Selatan. Melihat perkembangan situasi tersebut, Indonesia tidak ingin menambah kerunyaman di kawasan dengan melakukan pendekatan konfrontatif dengan China.

Oleh karena itu, pendekatan Indonesia terhadap sikap China di perairan Natuna akan cenderung diplomatis dibandingkan militer. Jalur bilateral dan multilateral akan tetap menjadi tumpuan Indonesia. Code of Conduct (CoC) kemungkinan akan menjadi salah satu senjata agar China mengurangi agresivitasnya di Laut China Selatan. Walaupun beberapa pihak skeptis soal CoC, akan tetapi CoC layak untuk diperjuangkan. Setidaknya, jika ini berhasil, CoC bisa menunjukkan bahwa negara-negara Asia Tenggara memiliki nyali untuk bersikap tegas kepada China.   

Apabila situasinya sudah dalam titik kritis, penulis berpendapat bahwa Indonesia akan mengerahkan kekuatan militernya secara terbatas sebagai respon tegas. Indonesia sendiri secara kontinyu menambah armada dan meningkatkan infrastruktur militernya di wilayah Natuna dengan harapan menciptakan "gertakan" bagi China. Namun, penulis berpendapat bahwa Negeri Tirai Bambu tidak menginginkan hubungannya dengan Indonesia renggang karena Indonesia merupakan mitra strategis China di kawasan. Menurut penulis, itulah yang menjadi posisi tawar Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun