Saat lulus kuliah, saya membayangkan bahwa saya bisa meraih cita-cita. Semuanya akan berjalan dengan lancar, dengan hambatan yang minimal. Kenyataannya, ada banyak variabel yang mempengaruhi perjalanan saya. Perjalanan menuju hidup yang diimpikan berlangsung naik-turun, seperti gelombang. Terkadang saya di atas, terkadang saya di bawah. Banyak kegagalan yang saya alami. Bahkan, beberapa tahun berada di arena yang bernama "kehidupan", saya mulai tertampar akan kerasnya hidup.
Saya melihat, ternyata ada yang sudah mapan di umur 25 tahun. Bahkan, ada yang masih berumur 23 tahun sudah menjadi jutawan. Di sekitar jalan pulang, saya juga melihat anak muda yang berjuang mengais rezeki dengan menjadi pengamen, pengemis, manusia perak, dan lain sebagainya. Saya pun mulai bertanya-tanya posisi saya ada di mana sekarang, mengapa laju kesuksesan saya lebih lambat dari orang-orang, apakah besok pekerjaan menghilang.
Melawan hal yang tak pasti
Serangkaian pertanyaan tersebut membuat saya khawatir, cemas, stres, bahkan mungkin juga depresi. Saat ini, saya menganggap perasaan itu wajar karena saya manusia. Mungkin juga perasaan tersebut merupakan coping mechanism saya untuk melawan ketidakpastian dalam hidup. Serangkaian pertanyaan "What if" pun kian banyak di kepala. Terlebih, kehadiran media sosial membuat perasaan-perasaan tersebut semakin menjadi-jadi.Â
Agar ketakutan terhadap ketidakpastiaan itu berkurang, saya menciptakan pola pikir bahwa saya bisa mengontrol banyak hal. Saya berlindung di balik angka-angka supaya mengurangi ketidakpastiaan. Angka memang bersifat objektif. Mereka mendeskripsikan realita tanpa empati. Misalnya, laporan World Bank 2022 menemukan, 23% populasi global hidup di bawah garis kemiskinan sebesar 3,65 dollar per hari. Atau menurut BPS 2021, indeks kebahagiaan orang Indonesia ada di angka 71,49.Â
Angka tersebut memang menunjukkan fakta. Namun, apakah angka tersebut akan tetap bertahan seperti itu? Jika dibawa ke level individu, apakah besok saya akan tetap bahagia atau justru merasakan pahitnya kehidupan? Saya bisa punya pekerjaan yang baik, namun bisa kehilangan besok atau lusa. Tidak ada yang tahu.
Banyak hal yang saya tidak ketahui menyadarkan saya bahwa lingkup kendali saya memang sedikit -- bahkan terlalu sedikit. Terlalu banyak hal yang tidak pasti di dunia ini. Di awal tahun 2020, tidak ada yang menyangka jika dunia mengalami pandemi. Saya pasti akan frustasi apabila masih stuck di karier atau keuangannya tidak level up.Â
Terus, kenapa?
Singkatnya, hidup memang tidak pasti. Terus, kenapa? Di sisi lain, saya dapat bersyukur bahwa hidup itu tidak pasti. Karena hidup itu tidak pasti, berarti kondisi kehidupan saya tidak akan selamanya berada di level yang sekarang. Saya melihat contoh real, baik yang terjadi di zaman lampau maupun saat ini. Leonardo Da Vinci, yang merupakan anak haram, mampu menjadi seorang maestro dengan lukisannya yang terkenal, Monalisa. Jack Ma, yang dulunya tidak punya apa-apa, menjadi 50 orang terkaya di dunia versi Bloomberg.Â
Perubahan yang terjadi harusnya menyadarkan saya bahwa saya bisa berubah dengan usaha kita. Tentunya dengan usaha saya. Penulis ingat sekali dengan prinsip DUIT (Doa, usaha, ikhtiar, dan tawakal). Tetapi, apakah hanya usaha saya mampu mengubah hidup kita? Pertanyaan itu kompleks karena kalau bicara sukses, terdapat banyak faktor. Malcolm Gladwell, penulis buku Outliers, menjabarkan - melalui analisis penulis juga - ada enam faktor yang bisa membuat hidup seseorang berubah: kecerdasan, kreativitas, kompetensi, lingkungan, kesempatan, dan keberuntungan.Â
Beruntungnya, empat dari enam faktor tersebut merupakan hal-hal yang bisa saya kendalikan. Saya bisa jadi sosok yang cerdas, kreatif, dan kompeten jika saya mengasah diri secara kontinyu. Sama seperti pisau, yang kalau tidak diasah akan tumpul, bukan? Saya pun juga bisa memilih lingkungan yang membuat saya berkembang. Saya keluar rumah, bertemu dengan banyak orang, berusaha semaksimal mungkin mengenalkan diri saya, dan menjalin hubungan.
Kesempatan dan keberuntungan bisa diciptakan, tetapi bagi saya, saya bisa mendapatkan kesempatan dan keberuntungan karena ada campur tangan Tuhan. Saya bisa mengusahakan dan menetapkan ekspektasi yang rendah maupun tinggi. Jika saya sudah terlalu sakit dengan ekspektasi, tidak berekspektasi pun tidak masalah. Karena ada banyak kejadian di mana ketika tidak berekspektasi, justru banyak orang mendapatkan apa yang mereka mau.Â
Kalaupun saya tidak mendapatkannya, saya punya pilihan untuk bersabar dan belajar dari pengalaman. Jikapun saya mendapatkannya, saya bisa bersyukur bahwa Tuhan membukakan jalan atau sombong dan merasa bahwa apa yang saya capai merupakan hasil dari usaha saya. Penulis percaya, di dunia yang tidak pasti ini, ada banyak orang yang membantu saya, baik langsung maupun di balik layar.
Kesimpulannya, merangkul ketidakpastian adalah soal merespon segala sesuatunya dengan sudut pandang yang tepat dan bertindak menggunakan akal dan hati.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H