Mohon tunggu...
Rizky Ridho Pratomo
Rizky Ridho Pratomo Mohon Tunggu... Relawan - Menulis untuk mengeskpresikan apa yang tidak bisa diungkap dengan kata-kata

Seorang overthinking yang membangkitkan kembali hasrat menulis untuk diri sendiri dan orang lain, bukan karena pekerjaan maupun tuntutan.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mempunyai Visi Itu Murah Sekaligus Mahal

4 Januari 2024   14:52 Diperbarui: 4 Januari 2024   14:56 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap orang itu punya visi, entah apapun visinya. Visinya ada dalam berbagai bentuk, tujuan, kegiatan, dan variasi lainnya. Ada orang yang mendambakan ingin punya rumah dan mobil. 

Ada yang dalam beberapa tahun lagi ingin menjadi calon legislatif. Ada juga yang menginginkan kemerdekaan finansial di usia sebelum 40 tahun. 

Adanya visi dalam hidup kita merupakan hal yang baik. Visi mendorong kita untuk berusaha semaksimal mungkin, membuat ekspektasi dalam diri, dan membuat kita jadi lebih terarah dalam hidup. 

Saya yakin semua kenal dengan Michael Jordan, salah satu pebasket terhebat dalam sejarah NBA. Kita tahu usahanya untuk membawa dirinya dan timnya menjadi yang terbaik. 

Dia melakukan latihan yang sangat disiplin, konsisten dengan rencananya, dan masih banyak lagi hal-hal yang dia lakukan. Sebesar itulah keinginannya menjadi yang terbaik. 

Bermimpi atau memiliki visi itu mudah. Kita bisa tidur atau pun duduk di halaman rumah, memikirkan kita ingin menjadi apa di masa depan. Kenapa mudah? 

Karena kita punya pikiran, imajinasi, dan kreativitas untuk membayangkan apa yang mungkin terjadi dalam hidup kita kedepan. Semua orang punya kapasitas untuk melakukan itu. 

Namun, bagi saya, mempunyai visi itu mahal. Kenapa mahal? Saya bisa sebutkan tiga alasan. Pertama, visi itu hanya menjadi mimpi jika tidak dieksekusi. 

Jadi yang mahal adalah eksekusinya. Suka tidak suka, mau tidak mau, ada hal-hal tertentu yang harus kita korbankan untuk mencapai visi kita. Misalnya, mengurangi waktu berpesta dengan teman dan kehilangan momen berharga. Bahkan, ada juga yang harus berpisah dengan teman dekatnya karena berbeda visi dan prinsip hidup. 

Kedua, kita harus benar-benar nyaman berada di kondisi dan situasi yang tidak nyaman. Artinya, kita perlu sering keluar dari zona nyaman. Tidak semua orang mampu melakukan itu. 

Kebanyakan orang bertahan di zona nyamannya karena menghindari stres dan kecemasan. Stres dan kecemasan wajar terjadi karena kita ada di tempat yang tidak kita kenal. Namun, kita perlu keluar dari zona nyaman. 

Alasan orang kenapa suka dengan zona nyaman adalah untuk menghindari kegagalan. Kegagalan adalah momok yang menakutkan, dan saya pun sepakat dengan itu. Orang lebih suka melihat kita gagal dibandingkan kita sukses. Orang akan lebih mudah menilai kita dari aspek kegagalannya. 

Riset Yldrm et al. (2023) saat meneliti tentang ketakutan akan gagal di diri atlit menemukan jika atlit lebih melihat potensi kerugiannya saat mendekati suatu pertandingan. Ketakutan seperti itu menjadi alasan ketiga yang membuat kita tidak berani untuk melangkah maju dan meraih visi kita. 

Tiga alasan itulah yang menurut saya membuat visi itu mahal. Mahal karena dalam eksekusinya, kita akan menemukan kegagalan, ketidaknyamanan, cemooh, merasa stres dan cemas, dan lain sebagainya. Kita takut kehilangan apapun, sehingga membuat kita tidak berani meraih visi kita. Makanya, hanya beberapa persen orang yang berhasil dan meraih impian dan visinya. 

Oleh karena itu, memiliki visi bukan hanya sekadar bermimpi dan berangan-angan, tetapi juga perlu keberanian untuk melangkah. Satu langkah kecil akan sangat berarti kedepannya daripada tidak melangkah sama sekali. 

Perjalanan menuju sukses ibaratnya seperti berada di dalam labirin: banyak jalan yang lancar, tetapi banyak juga yang buntu. Kita perlu mengerahkan segenap kemampuan kita agar bisa mencapai garis akhir di dalam labirin. 

Hidup memang hanya sekali, tetapi terperangkap dalam labirin bukan pilihan. Saya harap, di tahun 2024 ini, kita sudah berani menentukan arah dan melangkah dengan berani. Walaupun langkah itu kecil, tetapi itu lebih berarti. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun