Satu faktor lain yang tidak bisa kita kesampingkan adalah budaya digital. Namun, budaya digital tidak terlalu terpengaruh jika kita sudah punya budaya baca yang kuat. Akan berbeda ketika kita sudah terbiasa mengkonsumsi konten, tetapi jarang melahap buku bacaan. Membudayakan membaca akan jauh lebih menantang.
Cukupkah Hanya Menumbuhkan Minat Baca?
Faktor-faktor tersebut saling beririsan, yang mempengaruhi minat baca kita. Jadi, kalau bicara tingkat literasi, ada benarnya data yang disampaikan UNESCO dan CCSU.
Walaupun pada kenyataannya minat baca kita rendah, sampai sekarang sudah banyak upaya untuk menumbuhkan minat baca. Ada yang membuat taman baca, menciptakan gerakan donasi buku ke seluruh Indonesia, sampai ada komunitas baca bersama supaya terbentuk ekosistemnya.
Dari semua upaya-upaya ini, penulis yakin jika gerakan-gerakan tersebut menghasilkan dampak yang signifikan. Kita tahu kalau membentuk budaya bukanlah perkara mudah. Butuh perjuangan untuk bisa membentuk budaya yang tepat - atau keluar dari pemikiran dan budaya lama.
Tantangan sebenarnya adalah mengubah minat jadi budaya membaca buku dan menjadikannya sebagai prioritas selain pekerjaan. Minat sifatnya hanya sementara dan biasanya tergantung mood dan waktu luang. Sebaliknya, budaya adalah sebuah aktivitas atau sikap yang sudah terbentuk perlahan hingga menjadi kebiasaan.
Bagi penulis, kita tidak bisa berhenti di dalam pembentukan minat baca. Penulis sepakat dengan Yogi Theo Rinaldi, seorang pegiat literasi, bahwa membaca buku hanyalah langkah pertama. Kalau kita berkaca pada apa yang dilakukan tokoh bangsa kita, mereka mengubah apa yang mereka baca menjadi suatu pemikiran dan gagasan yang visioner dan melampaui zamannya. Seperti yang dilakukan para penggerak literasi saat ini.
Singkatnya, kita perlu mengubah minat menjadi budaya membaca.
Menurut penulis, hasil akhir dari membaca buku sebenarnya bukan pengumpulan pengetahuan, tetapi bagaimana membuat bacaan kita menjadi amunisi untuk kita bergerak nyata di masyarakat. Menjadi alat untuk melihat realita di kehidupan. Gerakan nyata bisa dalam membuat gerakan maupun tulisan. Para founding fathers kita pun melakukan hal itu. Jadi, best practices dari hasil membaca buku sudah ada di dalam diri pendiri bangsa.
Oleh karena itu, ini menjadi tugas kita, yaitu mengubah minat jadi budaya dan mengubah budaya jadi suatu bentuk akhir: Gerakan dan tulisan. Tantangan pasti ada dan mungkin saja jalannya lebih terjal. Namun, hasil akhirnya akan dahsyat.
Bayangkan jika rakyat Indonesia sudah terbiasa menciptakan ide orisinil dari buku-buku yang ia baca dan mengubahnya menjadi wujud yang nyata untuk kepentingan bersama, akan datang masanya ketika daerah-daerah di Indonesia menjadi Baghdad baru bagi masyarakat global. Hal itu pasti membuat pendiri dan tokoh bangsa tersenyum bangga.