Pekerjaan saya sebagai kurir toko saat ini mempertemukan saya dengan orang-orang baru dari berbagai latar belakang setiap hari.
Kemarin sore seorang pelanggan memesan lemari via telepon dan minta lemarinya dirakit di rumahnya saja yang beralamat di Rumbai. Sebagai seorang kurir idaman, dengan sepenuh hati saya mengantarkan lemari itu menuju alamatnya.
Singkat cerita, sampailah saya di rumahnya walaupun kardus lemari sudah lembab karena hujan. Sambil merakit lemari, saya coba berinteraksi dengan pelanggan saya ini dengan menuturkan beberapa ucapan.
"Maaf yo Kak, agak basah. Kanai hujan sabalun simpang situ tadi". Ucap saya dengan logat Minang.
"Ndak pa pa, Bang. Orang Minang ya Bang ??"
"Ndak Kak, orang Kampar saya Kak".
"Oo.. kirain orang Minang"
"Di Pekanbaru ni kan bahasanya bahasa Minang, makanya saya juga kadang pake bahasa Minang kak, hehe. Kalo Kakak orang mana ?".
"Saya orang Aceh aslinya".
"Ooh Aceh. Kakak Aceh di bagian mana, Kak ?".
"Saya Banda Aceh, tempat kejadian tsunami dulu. Tau Bang ?".
"Oo taulah, Kak. Semua orang tau dengan kejadian itu. Waktu itu saya masih SD. Berarti waktu kejadian tu kakak udah di Pekanbaru ya ?".
"Gak Bang, saya di sini baru sekitar lima tahun, saya masih di sana waktu itu" jawabnya.
Saya agak tersentak karena menyadari bahwa orang yang di hadapan saya saat ini adalah salah satu korban yang selamat dari bencana tsunami Aceh 2004 lalu, salah satu bencana terdahsyat yang pernah terjadi di negeri ini.
"Saat kejadian itu saya masih kelas 3 SMA" ia memulai ceritanya. Kemudian dia bercerita tentang usahanya lari ke tempat yang lebih tinggi untuk menyelamatkan diri, tentang adiknya yang juga selamat walaupun terbawa arus hingga ke Sabang, tentang rumahnya yang hancur disapu tsunami, tentang suara dan suasana kepanikan sewaktu peristiwa tsunami yang menimbulkan trauma bertahun-tahun.
"Bertahun-tahun saya tak berani ke laut, baru-baru ini saya berani naik kapal lagi" katanya sambil menyeka air mata.
Saya terdiam mendengarkan dan tidak berani lagi bertanya walaupun saya masih ingin bertanya tentang keadaan orang tuanya yang belum ia ceritakan.
Tidak, tak perlu saya tanyakan, sebab air matanya yang jatuh itu sudah cukup menjelaskan. Saya tak ingin mengungkit duka lamanya lebih dalam lagi.
"Di pengungsianlah saya bertemu dengan ayah anak-anak ini" katanya sambil mengenalkan kedua anaknya.
Ia beranjak ke dapur menyalakan kompor. Tak lama, dia kembali sambil membawa segelas kopi panas.
"Ini kopi, minum dulu, Dek. Kopi aceh, saya bawa dari sana waktu pulang kampung kemarin"
"O iya, makasih banyak Kak. Kopi aceh terkenal loh di sini, banyak yang menjualnya. Dulu saya juga pernah dikasih sama teman".
"Nah, coba dulu yang ini rasanya beda"
Kemudian saya coba menyeruput kopu aceh asli buatan orang Aceh asli.
"Gimana ?? Yang ini beda kan ??" Tanyanya pada saya yang tek pengopi dan tak mengerti kopi ini.
"Ha'a, yang ini memang beda kayaknya kak" padahal saya tak tahu bedanya apa, yang saya tahu kopi rasanya tetap pahit, maklum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H