Memakai baju baru bagaikan sebuah rukun di hari lebaran. Ketika hari raya tiba, membeli baju baru seakan lebih prioritas daripada membeli beras.
Beberapa kali lebaran belakangan saya menolak membeli/dibelikan baju baru karena bagi saya sekadar memakai baju baru tak terlalu penting, lagipula baju-baju saya yang kemarin juga terasa masih keren.
Saat itu emak menekan saya agar membeli sehelai baju baru atau sandal, namun saya tak melakukannya dan tetap memegang prinsip 'say no to baju baru'. Itu berlangsung empat kali lebaran. Karena menurut saya hanya orang-orang hebat mental yang sanggup tak ikut membeli baju baru ketika hari raya.
Tahun lalu saya menyadari bahwa apa yang saya lakukan itu membuat emak sedikit sedih. Anak orang lain berpakaian bagus dengan baju baru dan sandal baru, anaknya hanya memakai outfit lama.
Sebenarnya baju yang saya pakai juga tak kalah keren dibanding baju baru. Namun emak tahu bahwa itu baju yang sudah hampir sepuluh tahun. Ia jadi berpikir "sesusah inikah kehidupan keluarga saat ini hingga anak bungsu tak punya baju baru di hari raya. Jangan-jangan anakku tak punya uang dan ia hanya berbohong punya pegangan, buktinya baju dan sandal pun tak terbeli".
Hari raya 1443 Hijriyah ini saya meruntuhkan keegoisan, meruntuhkan prinsip yang arogan. Saya harus menyenangkan hati emak dengan memakai baju baru. Sehelai baju kaos hitam yang saya beli sendiri. Kemudian sehelai baju koko dan celana panjang dari kakak ipar, niatnya dibelikan untuk suaminya (saudara saya) namun salah ukuran dan akhirnya dihadiahkan ke saya. Duuh, rezeki emang tak ke mana haha..
Saya sudah memakai baju baru, shalat Eid kali ini outfit saya sudah berubah dari tahun-tahun sebelumnya. Saya sudah tak egois lagi agar tak ada sedikitpun kesedihan di hari kemenangan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H