Mohon tunggu...
Petani Itu Keren
Petani Itu Keren Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Memerhatikan Dunia Pertanian dan Peternakan Indonesia. Mendukung penyejahteraan petani sebagai pahlawan pangan nasional.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Kebijakan Pangan Nasional Pasca Data Beras Baru BPS

6 November 2018   13:42 Diperbarui: 6 November 2018   14:08 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak pihak berharap, rilis penyempurnaan metode perhitungan data produksi beras nasional oleh Badan Pusat Statistik (BPS) melalui rapat koordinasi yang dipimpin Wakil Presiden Jusuf Kalla, Senin (22/10/2018) lalu menjadi pengurai benang kusut persoalan data beras nasional. Bersamaan dengan itu - sayangnya - ada pihak-pihak yang menjadikannya 'alat' untuk menggiring wacana opini mengenai perlukah Pemerintah kembali mengimpor beras atau tidak.

Seperti kita ketahui, metode kerangka sampel area (KSA) yang digunakan untuk membuat prediksi data produksi beras oleh BPS, diyakini lebih unggul untuk memperoleh hasil data dibanding metode yang lama. Dilakukan dengan serangkaian uji coba menggunakan teknologi mutakhir. Keterlibatan Badan Pengkajian  dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ART), Badan Informasi Geospasial serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional sangat diapresiasi dalam hal ini. BPS menguji coba metode KSA ini sejak tahun 2015 dan diaplikasikan di seluruh wilayah Indonesia sampai level kecamatan di tahun 2018.

Namun begitu publik bertanya-tanya, bila memang maksud penggunaan metode baru ini sebagai penyempurna data produksi beras nasional, mengapa BPS tidak melibatkan kementerian dan lembaga teknis yang terkait langsung dengan hal tersebut seperti Kementerian Pertanian (Kementan) dan Badan Urusan Logistik (Bulog)? Mengingat institusi yang paling berkepentingan dalam hal data produksi beras nasional adalah Kementan dan Bulog.

Hasil KSA 2018

Saat melakukan tahapan ujicoba - sebelum merilis data beras yang baru, BPS kerap menyampaikan KSA merupakan kumpulan sampel area pengamatan (segmen) dalam suatu wilayah administrasi yang mewakili populasi sawah. Pengamatan dilakukan terhadap sampel sawah (lahan) untuk mengetahui fase-fase pertumbuhan dan menghitung perkiraan luas panen padi. Pengamatan dilakukan setiap tujuh hari terakhir tiap bulan terhadap setiap titik amatan di dalam segmen dengan mendasarkan peta citra dan menggunakan aplikasi berbasis Android.

BPS mengemukakan lewat metode ini kesalahan yang disebabkan kemungkinan petugas merekayasa hasil amatan, dapat diminimalisir. Dari hasil pengamatan tersebut setiap bulan dapat diperoleh perhitungan luas tanam padi dan luas panen padi pada periode tertentu. Produktifitas padi diukur dengan pengamatan terhadap hasil panen gabah kering panen (GKP) melalui observasi ubinan. 

Ubinan dilengkapi peralatan yang sudah terukur keakuratannya sehingga bisa diperkirakan produktivitas GKP per hektar berdasarkan berat hasil pengamatan. Misalnya hasil panen GKP rata-rata 3,5 kg, berarti produktivitas sawah 5,6 ton GKP per ha. GKP dikonversi ke gabah kering giling (GKG) dan padi berdasarkan perhitungan survei sendiri yang disebut survei konversi gabah ke beras.

Dengan perhitungan tersebut - yang menurut BPS telah dievaluasi dan diuji secara menyeluruh selama tiga tahun, diperoleh hasil pengamatan dan perhitungan angka produksi sebanyak 32,4 juta ton hingga akhir tahun 2018. Dengan melihat konsumsi beras masyarakat Indonesia yang dilakukan melalui survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), jumlah konsumsi beras di Indonesia mencapai 29,6 juta ton. Jadi dalam hasil perhitungan tersebut maka Indonesia mengalami surplus beras sebesar 2,85 juta ton.

Surplus Beras Tapi Impor?

Dengan diperolehnya data produksi beras hasil metode BPS ini, masyarakat Indonesia pantas lega karena ternyata negeri kita memang mengalami surplus beras sebanyak 2,85 juta ton di tahun 2018. Tetapi hasil perolehan data BPS yang diklaim mempergunakan metode baru dengan tingkat keakuratan yang tinggi tersebut, juga masih banyak dipertanyakan. Misalnya, Pengamat ekonomi Suropati Syndicate, Muhammad Ardiansyah Laitte yang menekankan data beras terbaru hasil metode KSA sesungguhnya baru pada tahap rilis secara nasional. Data tersebut belum menghitung angka per kecamatan dan kabupaten. Kehadiran data rinci sebagai alat untuk memantau fakta lapang menjadi samgat ditunggu, juga perlunya segera dihitung angka mundur hingga 10 atau 20 tahun terakhir dan disebarkan ke publik dan lembaga dunia.

Ardiansyah juga mempertanyakan beberapa hal yang menjadi catatan luas panen, yakni apabila menggunakan data luas baku sawah 7,1 juta hektar, lantas bagaimana nasib fakta petani tanam padi diluar luas baku sawah, tidak dihitung. Ada banyak padi ladang, padi gogo dan rawa yang ditanam di tegalan/kebun, huma/ladang, belukar, rawa, areal hutan dan areal sementara tidak diusahakan. Apakah diabaikan, padahal luasnya sangat signifikan.  ( Muhammad Ardiansyah Laitte, Nusakini, 26 Oktober 2018).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun