Mohon tunggu...
Petani Itu Keren
Petani Itu Keren Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Memerhatikan Dunia Pertanian dan Peternakan Indonesia. Mendukung penyejahteraan petani sebagai pahlawan pangan nasional.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Kebijakan Pangan Nasional Pasca Data Beras Baru BPS

6 November 2018   13:42 Diperbarui: 6 November 2018   14:08 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kita juga patut bersukur, dengan menggunakan metode baru ini, yaitu metode KSA, produksi padi dalam negeri lebih tinggi dari kebutuhan", demikian Kariyasa menutup keterangan tertulisnya.                                                                                                                                                                                                      

Tapi ironinya muncul kesan yang kuat bila data produksi beras nasional yang surplus ini malah dijadikan 'alat' politik untuk membangun opini, bila pemerintah harus kembali mengimpor beras. Alasan yang dipakai cukup aneh dengan mengatakan langkah impor beras dinilai sudah tepat karena kondisi di lapangan saat ini adalah distribusi beras tidak merata (Dwi Ardian, Kompas, 29 Oktober 2018).

Alasan ini cukup terasa aneh karena ibarat kita sakit maag, tapi kita disuruh meminum obat sakit kepala. Dengan alasan distribusi yang belum memadai, padahal kita surplus, maka jalan keluarnya adalah impor beras. Terlebih Budi Waseso - pemimpin Bulog - lembaga teknis yang memahami kondisi lapangan Jumat (26/10/2018) lalu justru dengan tegas mengatakan Indonesia tak perlu impor beras. Hal ini dikarenakan stok yang ada dipastikan cukup hingga akhir 2018. Bahkan, diprediksi hingga Juni 2019 ketersediaan beras Bulog masih sangat memadai.

Politik Nawacita Kebijakan Pangan Nasional

Dalam sengkarut persoalan pangan tersebut, memang begitu terasa adanya tarik menarik politik dan pertarungan antara penganut mazhab ekonomi liberal dan ekonomi kerakyatan di satu sisi, dan diperkeruh pula oleh masih banyaknya mafia pangan dan tentakelnya di pemerintahan yang terus mengintervensi kebijakan pangan nasional. Kesan ini semakin kuat mengingat sedari dulu, hal yang senantiasa diangkat ke permukaan adalah kisruhnya data pangan nasional.

Setelah data pangan dari BPS keluar dan dinyatakan Indonesia mengalami surplus, berbagai alasan kembali disodorkan untuk membenarkan kebijakan impor beras tersebut.

Padahal, sejak pemerintahan kabinet kerja Jokowi-JK terbentuk di 2014 lalu, garis besar arah pembangunan nasional adalah kemandirian seperti yang termaktub dalam Nawacita. Tulisan Presiden Jokowi dalam buku 'Revolusi Mental'  dengan judul "Revolusi Mental" (editor Jansen Sinamo, 2014), dengan tegas mengatakan, "Indonesia secara ekonomi seharusnya dapat berdiri di atas kaki sendiri, sesuai amanat Tri Sakti. Ketahanan pangan dan ketahanan energi merupakan dua hal yang sudah tidak dapat ditawar lagi. Kita jangan mengandalkan impor pangan. Indonesia harus berusaha melepaskan diri dari ketergantungan pemenuhan kebutuhan makanan dan bahan pokok lainnya dari impor. Kita harus melakukan revolusi mental untuk mengikis mental ketergantungan itu".

Agaknya, apa yang menjadi harapan Presiden Jokowi secara perlahan mulai terwujud di sektor pangan nasional dengan berhasilnya Indonesia secara cepat melakukan lompatan dalam meningkatkan produksi. Yang jadi persoalan saat ini adalah, terkait mentalitas para pengambil kebijakan. Seperti yang dikatakan Presiden dalam buku tersebut, "Kebijakan ekonomi liberal yang sekadar mengedepankan kekuatan pasar telah menjebak Indonesia sehingga tergantung pada modal asing. Sementara sumberdaya alam dikuras oleh perusahaan multinasional bersama para "kompradornya" Indonesia-nya". (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun