Banyak pihak berharap, rilis penyempurnaan metode perhitungan data produksi beras nasional oleh Badan Pusat Statistik (BPS) melalui rapat koordinasi yang dipimpin Wakil Presiden Jusuf Kalla, Senin (22/10/2018) lalu menjadi pengurai benang kusut persoalan data beras nasional. Bersamaan dengan itu - sayangnya - ada pihak-pihak yang menjadikannya 'alat' untuk menggiring wacana opini mengenai perlukah Pemerintah kembali mengimpor beras atau tidak.
Seperti kita ketahui, metode kerangka sampel area (KSA) yang digunakan untuk membuat prediksi data produksi beras oleh BPS, diyakini lebih unggul untuk memperoleh hasil data dibanding metode yang lama. Dilakukan dengan serangkaian uji coba menggunakan teknologi mutakhir. Keterlibatan Badan Pengkajian  dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ART), Badan Informasi Geospasial serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional sangat diapresiasi dalam hal ini. BPS menguji coba metode KSA ini sejak tahun 2015 dan diaplikasikan di seluruh wilayah Indonesia sampai level kecamatan di tahun 2018.
Namun begitu publik bertanya-tanya, bila memang maksud penggunaan metode baru ini sebagai penyempurna data produksi beras nasional, mengapa BPS tidak melibatkan kementerian dan lembaga teknis yang terkait langsung dengan hal tersebut seperti Kementerian Pertanian (Kementan) dan Badan Urusan Logistik (Bulog)? Mengingat institusi yang paling berkepentingan dalam hal data produksi beras nasional adalah Kementan dan Bulog.
Hasil KSA 2018
Saat melakukan tahapan ujicoba - sebelum merilis data beras yang baru, BPS kerap menyampaikan KSA merupakan kumpulan sampel area pengamatan (segmen) dalam suatu wilayah administrasi yang mewakili populasi sawah. Pengamatan dilakukan terhadap sampel sawah (lahan) untuk mengetahui fase-fase pertumbuhan dan menghitung perkiraan luas panen padi. Pengamatan dilakukan setiap tujuh hari terakhir tiap bulan terhadap setiap titik amatan di dalam segmen dengan mendasarkan peta citra dan menggunakan aplikasi berbasis Android.
BPS mengemukakan lewat metode ini kesalahan yang disebabkan kemungkinan petugas merekayasa hasil amatan, dapat diminimalisir. Dari hasil pengamatan tersebut setiap bulan dapat diperoleh perhitungan luas tanam padi dan luas panen padi pada periode tertentu. Produktifitas padi diukur dengan pengamatan terhadap hasil panen gabah kering panen (GKP) melalui observasi ubinan.Â
Ubinan dilengkapi peralatan yang sudah terukur keakuratannya sehingga bisa diperkirakan produktivitas GKP per hektar berdasarkan berat hasil pengamatan. Misalnya hasil panen GKP rata-rata 3,5 kg, berarti produktivitas sawah 5,6 ton GKP per ha. GKP dikonversi ke gabah kering giling (GKG) dan padi berdasarkan perhitungan survei sendiri yang disebut survei konversi gabah ke beras.
Dengan perhitungan tersebut - yang menurut BPS telah dievaluasi dan diuji secara menyeluruh selama tiga tahun, diperoleh hasil pengamatan dan perhitungan angka produksi sebanyak 32,4 juta ton hingga akhir tahun 2018. Dengan melihat konsumsi beras masyarakat Indonesia yang dilakukan melalui survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), jumlah konsumsi beras di Indonesia mencapai 29,6 juta ton. Jadi dalam hasil perhitungan tersebut maka Indonesia mengalami surplus beras sebesar 2,85 juta ton.
Surplus Beras Tapi Impor?
Dengan diperolehnya data produksi beras hasil metode BPS ini, masyarakat Indonesia pantas lega karena ternyata negeri kita memang mengalami surplus beras sebanyak 2,85 juta ton di tahun 2018. Tetapi hasil perolehan data BPS yang diklaim mempergunakan metode baru dengan tingkat keakuratan yang tinggi tersebut, juga masih banyak dipertanyakan. Misalnya, Pengamat ekonomi Suropati Syndicate, Muhammad Ardiansyah Laitte yang menekankan data beras terbaru hasil metode KSA sesungguhnya baru pada tahap rilis secara nasional. Data tersebut belum menghitung angka per kecamatan dan kabupaten. Kehadiran data rinci sebagai alat untuk memantau fakta lapang menjadi samgat ditunggu, juga perlunya segera dihitung angka mundur hingga 10 atau 20 tahun terakhir dan disebarkan ke publik dan lembaga dunia.
Ardiansyah juga mempertanyakan beberapa hal yang menjadi catatan luas panen, yakni apabila menggunakan data luas baku sawah 7,1 juta hektar, lantas bagaimana nasib fakta petani tanam padi diluar luas baku sawah, tidak dihitung. Ada banyak padi ladang, padi gogo dan rawa yang ditanam di tegalan/kebun, huma/ladang, belukar, rawa, areal hutan dan areal sementara tidak diusahakan. Apakah diabaikan, padahal luasnya sangat signifikan. Â ( Muhammad Ardiansyah Laitte, Nusakini, 26 Oktober 2018).
Pentingnya Segera Dilakukan Backcasting Data
Mengenai menghitung mundur data , Kepala Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementan I Ketut Kariyasa (26/10/2018) menyampaikan bahwa BPS perlu segera melakukan backcasting data, baik untuk data luas panen maupun produksi padi.
Backcasting dimaksudkan untuk melakukan koreksi data produksi luas panen dan padi/beras pada tahun tahun sebelumnya dengan menggunakan pendekatan yang sama, dalam hal ini adalah metode KSA. Dengan kata lain, melakukan peramalan mundur dengan menggunakan hasil hasil dari metode KSA tahun 2018 sebagai basis peramalan pada tahun tahun sebelumnya.
I Ketut Kariyasa menilai hal ini penting  Kepala Pusat Data dan Informasi Pertanian (Kapusdatin) Kementerian Pertanian (Kementan), hal ini penting dilakukan agar semua data yang ada dari dulu sampai sekarang yang sudah dihitung menggunakan metode atau pendekatan yang sama, agar bisa digunakan dengan baik untuk keperluan analisis selanjutnya.
"Seperti untuk melihat kinerja perkembangan dan analisis produksi padi dari tahun ke tahun, tanpa melakukan backcasting data dulu, akan tidak relevan untuk dilakukan karena hasil analisisnya akan tidak tepat menggambarkan kondisi yang riil di lapangan. Â Kalau hasil analisis ini digunakan tentu saja menyebabkan kebijakan dan program pembangunan pertanian menjadi tidak tepat", ujar Kariyasa.
Selain itu, tambahnya, akan menimbulkan pertanyaan bagi banyak orang terutama yang belum tahu atau belum paham kenapa terjadi perbedaan yang sangat besar antara luas panen dan produksi padi pada tahun 2018 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.Â
"Orang akan bertanya-tanya ada apa pada tahun 2018, sehingga luas panen dan produksi jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Padahal tidak ada apa-apa, hal itu semata-mata disebabkan oleh karena adanya perbedaan pendekatan yang digunakan dalam perhitungan luas panen dan produksi padi/ beras, yaitu sebelum tahun 2018 menggunakan metode lama, dan pada tahun 2018 menggunakan metode KSA", jelasnya.
Pertanyaan itu tidak saja akan muncul dari kalangan masyarakat Indonesia, tapi juga dari dunia luar terutama yang sering memanfaatkan data Indonesia dalam melakukan kajian atau analisis.Â
Selain itu yang perlu diperhatikan, lanjut Kariyasa, bagaimana dengan informasi yang sudah dipublikasikan . Sebagai contoh, 6 bulan yang lalu dalam Rice Market Monitor (Volume XXI ISSUE No.1, April 2018) FAO mengestimasi produksi padi di Indonesia tahun 2017 sekitar 73,9 ton GKG dan pada tahun 2018 mencapai 74,5 juta ton GKG. Â Sementara hasil perhitungan metode KSA BPS, produksi padi Indonesia 2018 hanya 56,54 juta ton GKG.
"Apakah FAO akan melakukan koreksi terhadap data tersebut. Â Kalaupun FAO melakukannya, tanpa tersedianya data-data yang terkoreksi (di backcasting) tahun-tahun sebelumya, hal itu akan menghasilkan analisis yang menyesatkan, karena otomatis data produksi padi tahun 2018 akan lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Padahal dengan tersedianya data backcasting tahun 2017, akan masih menghasilkan analisis yang sama dimana produksi padi tahun 2018 lebih tinggi dari tahun 2017 ", katanya.Â
Namun demikian Kariyasa melanjutkan, Kementan menyambut baik upaya memperbaiki akurasi data luas panen dan produksi. Sambil berharap hasil dari metode KSA dapat memberikan informasi yang lebih akurat dari metode sebelumnya yang selama ini digunakan oleh BPS.
"Kita juga patut bersukur, dengan menggunakan metode baru ini, yaitu metode KSA, produksi padi dalam negeri lebih tinggi dari kebutuhan", demikian Kariyasa menutup keterangan tertulisnya. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Tapi ironinya muncul kesan yang kuat bila data produksi beras nasional yang surplus ini malah dijadikan 'alat' politik untuk membangun opini, bila pemerintah harus kembali mengimpor beras. Alasan yang dipakai cukup aneh dengan mengatakan langkah impor beras dinilai sudah tepat karena kondisi di lapangan saat ini adalah distribusi beras tidak merata (Dwi Ardian, Kompas, 29 Oktober 2018).
Alasan ini cukup terasa aneh karena ibarat kita sakit maag, tapi kita disuruh meminum obat sakit kepala. Dengan alasan distribusi yang belum memadai, padahal kita surplus, maka jalan keluarnya adalah impor beras. Terlebih Budi Waseso - pemimpin Bulog - lembaga teknis yang memahami kondisi lapangan Jumat (26/10/2018) lalu justru dengan tegas mengatakan Indonesia tak perlu impor beras. Hal ini dikarenakan stok yang ada dipastikan cukup hingga akhir 2018. Bahkan, diprediksi hingga Juni 2019 ketersediaan beras Bulog masih sangat memadai.
Politik Nawacita Kebijakan Pangan Nasional
Dalam sengkarut persoalan pangan tersebut, memang begitu terasa adanya tarik menarik politik dan pertarungan antara penganut mazhab ekonomi liberal dan ekonomi kerakyatan di satu sisi, dan diperkeruh pula oleh masih banyaknya mafia pangan dan tentakelnya di pemerintahan yang terus mengintervensi kebijakan pangan nasional. Kesan ini semakin kuat mengingat sedari dulu, hal yang senantiasa diangkat ke permukaan adalah kisruhnya data pangan nasional.
Setelah data pangan dari BPS keluar dan dinyatakan Indonesia mengalami surplus, berbagai alasan kembali disodorkan untuk membenarkan kebijakan impor beras tersebut.
Padahal, sejak pemerintahan kabinet kerja Jokowi-JK terbentuk di 2014 lalu, garis besar arah pembangunan nasional adalah kemandirian seperti yang termaktub dalam Nawacita. Tulisan Presiden Jokowi dalam buku 'Revolusi Mental' Â dengan judul "Revolusi Mental" (editor Jansen Sinamo, 2014), dengan tegas mengatakan, "Indonesia secara ekonomi seharusnya dapat berdiri di atas kaki sendiri, sesuai amanat Tri Sakti. Ketahanan pangan dan ketahanan energi merupakan dua hal yang sudah tidak dapat ditawar lagi. Kita jangan mengandalkan impor pangan. Indonesia harus berusaha melepaskan diri dari ketergantungan pemenuhan kebutuhan makanan dan bahan pokok lainnya dari impor. Kita harus melakukan revolusi mental untuk mengikis mental ketergantungan itu".
Agaknya, apa yang menjadi harapan Presiden Jokowi secara perlahan mulai terwujud di sektor pangan nasional dengan berhasilnya Indonesia secara cepat melakukan lompatan dalam meningkatkan produksi. Yang jadi persoalan saat ini adalah, terkait mentalitas para pengambil kebijakan. Seperti yang dikatakan Presiden dalam buku tersebut, "Kebijakan ekonomi liberal yang sekadar mengedepankan kekuatan pasar telah menjebak Indonesia sehingga tergantung pada modal asing. Sementara sumberdaya alam dikuras oleh perusahaan multinasional bersama para "kompradornya" Indonesia-nya". (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H