Jika kondisi itu terus terjadi, kata Khudori, Indonesia sulit menjadi lumbung pangan dunia.Â
"Saya optimistis Indonesia punya modal untuk menggapai itu. Namun, untuk mewujudkannya butuh kesepahaman semua stakeholders yang terkait pangan dan pertanian," katanya.
Dia mengemukakan, tanpa adanya pemahaman yang sama di antara para pemangku kepentingan, pangan impor yang murah setiap saat siap membombardir pasar domestik.
"Jika itu terjadi, harga pangan di dalam negeri bakal tersungkur. Petani domestik merugi dan cita-cita menjadi lumbung pangan dunia mesti dikubur," katanya.
Untuk itu, menurut Khudori, Kemtan harus memiliki argumentasi kuat dan didukung data yang valid serta meyakinkan. Masalahnya, rapat-rapat di level kabinet yang menetapkan keputusan impor sering kali tidak dihadiri mentan. Karena keputusan tetap dibuat, secara prosedural keputusan impor sudah benar.
"Namun, secara substansi sebenarnya bermasalah. Sebab, salah satu stakeholder yang terkena dampak langsung kebijakan impor enggakikut di dalamnya. Mengapa Pak Mentan sering enggak datang? Tanya itu ke beliau. Kalau enggak datang, bagaimana alasan menghentikan dan memperketat impor bisa dipertimbangkan dan diambil sebagai kebijakan?" ujar Khudori.
Secara terpisah, Direktur Insitute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, butuh keseriusan ekstra untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia.
"Bila menghentikan impor tapi tidak meningkatkan produktivitas, bagaimana mungkin Indonesia bisa menjadi lumbung pangan? Bukannya sulit, tetapi butuh keseriusan, bukan pencitraan," katanya.
Optimistis Tercapai
Di sisi lain, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta W Kamdani tetap optimistis pemerintah mampu menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia pada 2045.
"Kita harus selalu optimistis, tetapi yang penting (untuk merealisasikan target itu) kita harus mempersiapkan diri," katanya.