Pada tanggal 21 Januari 2021, tulisanku yang berjudul "Hidup Itu Aslinya Nikmat, Tapi Kok Kamunya Gak Mau?"---kalian bisa cek di postinganku itu di Blog dan Kompasiana-ku, tulisan ini agak berbobot untuk perenungan---ada yang memberi komentar saat aku membagikannya di grup Dunia Menulis media sosial Symbolic.id (Ini sosmed karya orang Indonesia lho, silakan check it out).
Dia---namanya tidak mau kusebutkan---mengetik: lalu bagaimana yang terlahir dengan kondisi tidak berkenikmatan seperti lahir di wilayah perang, di tempat susah air dll. Bukankah kalau dilihat dari kacamata kemanusiawian, mereka scr lgsg berada pada kondisi ketersiksaan?
Melihat itu seketika aku ingin membalas. Mungkin karena komentar ini berada di bawah tulisanku, aku merasa ini adalah tanggung jawabku. Serius, aku sungguh ingin membalas, kata-katanya pun sudah terbayangkan di kepalaku.
 "Kalau Allah memberikan sesuatu kepada hamba-Nya, itu pasti tepat. Pasti benar. Allah pasti mempertimbangkan banyak hal, tidak hanya lingkungan, situasi, kondisi, atau apa-apa yang kasat mata. Tapi juga isi pikiran, dan tingkat keimanan mereka, yang sangat tidak mungkin diketahui orang. Dan sebetulnya jika tidak tepat (menurutmu) juga tidak masalah. Tidak apa-apa. Allah itu yang punya seluruh semesta beserta isinya. Maka terserah-serah dia."
Tetapi tidak aku lakukan. Karena aku rasa pasti akan dikatai sok tahu. Tetapi ya memang sok tahu sih. Ya, begitulah jawaban yang ada kalau aku memaksakan diri untuk menjawab.Â
Dan bukan itu saja, jawabanku bisa juga dianggap meremehkan, menyindir, menghina, bahkan menyakiti hati mereka, orang yang tinggal di wilayah perang, tempat yang susah air bersih dan sebagainya.Â
Andai aku jadi mereka, mungkin aku akan marah kepada orang yang berkata-kata bijak saja, sementara aku lagi menderita, yang bukan main-main menderitanya---aku dalam keadaan darurat: membutuhkan pertolongan nyata dan sesegera mungkin.Â
Dan aku pun akan nyeletuk, "heh, bisanya ngomong doang. Kalau kamu betul-betul mau ngomong bijak, rasain dulu apa yang aku rasain. Sesudah itu lihat, apakah kamu bisa berkata seperti itu?"
Nah itu, dia. Kalau aku mau memberikan jawaban yang baik, seharusnya aku melibatkan perasaan, pikiran dan pengalaman. Pengalaman dalam arti mengalami hal itu langsung. Dan itu tidak bisa, tidak akan terjadi. Maksudku kalau aku ditawari sehari saja mengalami kehidupan seperti itu, aku jelas tidak akan mau. Aku tidak mampu. Hidupku yang begini saja enaknya kadang-kadang aku juga mengeluh.
Tetapi kemudian, tidak tahu kenapa, aku membalasnya:
Aku tidak tahu. Aku hanya menulis apa yang aku rasakan, aku tahu dan aku alami. Dan aku pun belum sampai di posisi "nriman". Aku hanya membayangkan pasti ada kondisi seperti itu.