Masalah manusia itu aslinya kecil sekali. Yang besar itu kalau kita ikut-ikutan masalahnya orang lain. Dan yang lebih besar lagi dari itu semua adalah kalau kita membesar-besarkan masalah kita sendiri.
Nah, menurutnya, dari 1% inilah orang-orang sering membesar-besarkannya hingga jadi besar—jadi 90 persen plus 1 persen—dan jadi mempersulit diri kita sendiri. Ketidakpastian yang ada kita pasti-pastikan. Kita ingin menjadi orang kaya. Lalu muncul masalah, bagaimana cara menjadi kaya? Lalu didapatkanlah jawabannya. Lalu muncul masalah lagi, hambatannya apa saja? Bagaimana cara mengatasinya? Dan seterusnya.
Sebetulnya tidak salah sih kalau mengada-ngada masalah sebagaimana tadi. Hidup tanpa keinginan juga aneh. Tidak normal. Tapi ya disadari juga sesungguhnya semua yang kita ada-adakan itu berasal dari satu persen. Dari masalah yang kecil atau enteng. Kita bisa mengendalikannya, mengurangi level kesulitannya. Kita bisa tidak perlu ngoyo ngotot. Kita bisa kerja cerdas. Bahkan masalah yang kita ada-ada-kan sendiri juga bisa kita enyahkan seketika dengan: “pokoknya aku gak jadi kepingin ini itu, maka aku gak usah melakukan ini itu”. Soalnya aslinya itu kan sing penting urip. Jalani hidup. Lakukan apa yang perlu dilakukan. Hadapi ketidakpastian, dan kemudian mati.
Di era globalisasi ini, jelas membuat persoalan ini jadi tidak gampang dipraktikan. Adanya internet/media sosial yang mudah kita akses, tidak hanya memberikan dampak positif. Ada juga dampak negatifnya. Bayangkan saja hiburan-hiburan kini melimpah, gratis dan mudah diakses. Lalu bagaimana kalau kita kecanduan dengan itu? Kecanduan dengan kesenangan-kesenangan yang sementara nan semu itu? Jangan sampai gara-gara itu kita sampai lupa apa yang mestinya kita lakukan, kita lupa menjalani apa yang ada di depan mata kita.
Jadinya jauh di mata dekat di hati. Yang artinya yang jauh-jauh kita urusin bener-bener pakai hati, yang dekat kita lupa. Cielah—itu makna yang aku buat sendiri.
Kok aku jadi ingat Frances Hesselbein ya. Beliau adalah salah satu pelatih kepemimpinan terbaik. Dia adalah contoh nyata dari melakukan apa yang perlu dilakukan.
Dulu, beliau berhenti berkuliah demi mengasuh adik-adiknya. Lalu bekerja seadanya sebagai asisten administrasi di tokok Penn Traffic Company. Tidak lama kemudian, beliau menikah dengan John—Frances Hesselbein itu perempuan ya. Lalu beliau mempunyai pekerjaan serabutan yang beliau sebut “membantu John”.
Selang beberapa lama, di usianya ke-34 tahun, seseorang datang ke rumahnya memintanya memimpin Pasukan Pramuka Putri 17 secara sukarela. Awalnya beliau tidak mau karena tidak mengerti apa-apa soal kepemimpinan, sampai akhirnya beliau mengerti jika beliau tidak mau maka organisasi pramuka putri—yang terdiri dari keluarga sederhana alias kurang mampu—bisa dibubarkan. Beliau sungguh-sungguh melakukannya. Beliau mempelajari banyak buku tentang kepemimpinan.
Lalu, singkat cerita (aslinya panjang tapi aku singkat saja ya, karena siapa pula yang mau baca tulisan panjang-panjang. Kamu mau?) karena kerjanya bagus, dia berpindah-pindah memimpin organisasi nirlaba. Dan akhirnya, di umur 50-an, beliau mulai menjalankan pekerjaan profesional, dipercaya memimpin perusahaan General Motors. Dan seterusnya, dia berpindah-pindah.
Beliau tidak pernah lulus dari perguruan tinggi, tetapi kantornya dihias dengan dua puluh tiga gelar doktor kehormatan, plus sebuah pedang mengilat yang dihadiahkan kepadanya oleh U.S. Military Academy karena telah mengajar kelas-kelas kepemimpinan di sana—juga Presidential Medal of Freedom, penghargaan tertinggi untuk orang sipil di Amerika Serikat.
Beliau tidak mempunyai rencana jangka panjang, hanya rencana untuk melakukan apa yang menarik atau diperlukan saat itu. “Saya tidak pernah membayangkan [suatu visi]” adalah kata pengantarnya yang paling populer. (Dalam buku Range, David Epstein)