Mohon tunggu...
Ridhani Ahmad Fajrin
Ridhani Ahmad Fajrin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Self-service di Tempat Makan : Hambatan dan Solusi dalam Penerapannya di Indonesia

19 Desember 2024   16:12 Diperbarui: 19 Desember 2024   16:12 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernahkah kamu menjumpai istilah self-service ketika mengunjungi suatu tempat?

Di restoran cepat saji, misalnya, mungkin kamu sudah tidak asing lagi dengan istilah tersebut karena banyak yang mengaitkan self-service dengan jenis restoran ini. Namun, sudah tahukah kamu apa sebenarnya self-service itu?

Yap! Secara harfiah, self service dapat diartikan sebagai layanan mandiri. Lebih lengkapnya, self-service merupakan suatu budaya yang mengharuskan seseorang untuk melayani dirinya sendiri, sejak kedatangan hingga meninggalkan suatu tempat. Jika dalam konteks restoran cepat saji, self-service membuat para pelanggannya melakukan segala aktivitas sendiri mulai dari memesan makanan, hingga mengembalikan peralatan makannya ke tempat yang sudah disediakan.

Saat ini, beberapa restoran di Indonesia sudah menyediakan mesin pemesanan mandiri yang digunakan oleh para pelanggan untuk memilih menu yang akan dipesan serta melakukan pembayaran melalui layar sentuh yang tidak jauh dari pintu masuk. Tentunya, hal ini dapat memberikan pengalaman baru bagi para pelanggan dari yang semula memesan makanan melalui kasir.

Selain pengalaman yang didapat oleh pengunjung, self-service juga memberikan manfaat bagi para pelaku bisnis. Ketika para pelanggan melakukan segala aktivitas sendiri, pelaku bisnis tidak perlu menyediakan lebih banyak sumber daya manusia untuk menangani hal tersebut. Dengan begitu, pengeluaran yang dibutuhkan untuk membayar pegawai dapat diminimalkan. Selain itu, self-service juga dapat membuat mobilisasi di dalam restoran dapat berjalan lebih teratur.

Namun, sayangnya masih banyak orang yang tidak peduli dengan budaya satu ini. Setelah selesai makan, mereka enggan untuk membersihkan meja dan membiarkan sampah serta peralatan makannya tergeletak di atas meja. Barulah setelah itu, pegawai restoran akan datang dan membersihkan meja tersebut untuk dapat digunakan oleh pelanggan berikutnya.

Seringkali, mereka beralasan dengan mengatakan pembeli adalah "raja" atau mereka menganggap bahwa self-service akan meringankan beban para pegawai restoran karena mereka tidak usah repot-repot untuk membersihkan bekas makan pelanggan.

Padahal, jika seorang pelanggan menemukan meja yang kotor karena bekas makanan pelanggan sebelumnya, mereka pasti akan merasa jijik. Apalagi di restoran yang menerapkan sistem self-service, alat makan yang kotor tersebut akan tetap berada di atas meja hingga ada yang berniat untuk membersihkannya.

Hal ini menunjukkan masih rendahnya pemahaman masyarakat di indonesia dalam menerapkan budaya self-service terutama di tempat makan.

Jika kita bandingkan dengan negara tetangga, Singapura, hampir semua sektor kehidupan di sana telah menerapkan sistem self-service, mulai dari bandara, MRT, hingga tempat makan. Tidak hanya restoran cepat saji saja yang menerapkan budaya tersebut, tetapi di semua tempat makan termasuk di hawker center (semacam pujasera).

Mula-mula pelanggan akan mengantre untuk memesan makanan di warung yang mereka pilih, kemudian menunggu hingga makanan yang dipesan sudah siap. Setelah itu, pelanggan akan membawa makanan tersebut menggunakan nampan ke meja yang disediakan. Setelah selesai makan, mereka harus mengumpulkan peralatan makan yang telah digunakan dan meletakkannya di tray yang tersedia di sudut pujasera.

Budaya ini diterapkan oleh semua pelanggan yang datang. Tak terkecuali, para turis yang datang ke Singapura juga melakukan hal yang sama. Hal ini disebabkan karena adanya denda bagi siapa saja yang tidak mengembalikan alat makan di hawker center. Namun, denda tersebut baru berlaku jika sudah melanggar untuk kedua kalinya.

Menurut saya, hambatan utama dalam penerapan budaya self-service di Indonesia terletak pada faktor kebiasaan masyarakat. Mungkin masih banyak masyarakat yang belum familiar dengan budaya ini, terutama bagi generasi babyboomers. Namun, dengan adanya edukasi yang lebih baik serta petunjuk yang jelas mengenai cara menerapkannya, masalah ini pasti dapat diatasi.

Selain itu, dengan adanya aturan serta sanksi yang mengikat, seperti di Singapura budaya self-service ini secara perlahan akan dapat diterima oleh masyarakat. Dengan begitu, besar kemungkinan Indonesia akan menerapkan budaya self-service di berbagai sektor kehidupan pada masa yang akan datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun